Rabu, 01 Juli 2009

I was Ben

Ben
by Michael Jackson

Ben, the two of us need look no more
We both found what we were looking for
With a friend to call my own
I'll never be alone
And you my friend will see
You've got a friend in me

Ben, you're always running here and there
You feel you're not wanted anywhere
If you ever look behind
And don't like what you find
There's something you should know
You've got a place to go

I used to say, "I" and "me"
Now it's "us", now it's "we"

Ben, most people would turn you away
I don't listen to a word they say
They don't see you as I do
I wish they would try to
I'm sure they'd think again
If they had a friend like Ben
Like Ben

Lagu ini dinyanyikan oleh Michael Jackson yang beberapa hari yang lalu telah menjadi almarhum. Penyanyi yang dijuluki Angel Voice ini (tapi memang suaranya seperti angel kok...-ceileh, kaya' tau aja suaranya malaikat kaya' gimana ^^,)menyanyikan lagu ini pada tahun 1972. Hm... masih kanak-kanak, dia. Sebenarnya lagu ini bercerita tentang persahabatan seorang anak dengan seekor tikus bernama Ben. Si tikus ini adalah binatang yang oleh kebanyakan orang dianggap sebagai binatang yang kecil, tidak berarti, menjijikkan, sehingga Michael menyebutkan dalam liriknya, "...Ben, most people would turn you away...". Tapi si Michael ini tak peduli apa anggapan orang, dan tetap berteman dengan si Ben.

Awalnya saya tidak tahu lagu ini bercerita tentang apa. Pertama kali saya dengar lagunya, tahu liriknya, saya merasa ingin menangis karena saya menafsirkan lagu ini sebagai kisah seorang anak yang menjadi korban bullying teman-temannya, tetapi ada seorang sahabat yang tetap mau berteman dan berdekatan dengannya. Saya merasa saya dulu adalah Ben, si anak yang terkucilkan dari lingkungan sosial teman-teman sebayanya. Tapi saya tidak membandingkan diri sendiri dengan tikus, lho... (kan saya awalnya tidak tahu kalau Ben itu seekor tikus...). Saya jadi ingat dulu waktu masih SD, ada sekelompok anak minoritas yang berbeda penampilan dibanding dengan kebanyakan teman yang lain. Beberapa anak ini (kira-kira 2 sampai 3 anak-salah satunya adalah saya), selalu memakai seragam yang berwarna lebih kusam daripada yang lain. Kemeja abu-abu (aslinya sih putih, tapi karena bajunya warisan, jadi lebih abu-abu) kebesaran, rok merah kepanjangan, dan sepatu dengan sol agak mangap sedikit, tapi walaupun sedikit, tidak luput dari pengamatan anak-anak lainnya. Jadi, bisa ditebak, mengapa teman-teman yang lain memilih anak-anak minoritas ini sebagai unwanted children in their society. Sebagai akibat dari perlakuan diskriminasi dari teman sebaya mereka, ketiga anak ini selalu menjadi bahan olok-olok, mendapat berbagai julukan tidak menyenangkan, tidak diikutsertakan dalam permainan-permainan, ditolak pada saat akan bergabung dalam kelompok pramuka, dan terkadang mendapat lemparan benda-benda kecil seperti karet penghapus atau kapur tulis. Sedihkah melewatkan masa kanak seperti itu? Jelas...

Sebagian orang melewatkan masa kanak mereka dengan baik-baik saja, bahkan bahagia dan bisa mengembangkan karakter. Namun sebagian yang lain seperti 3 anak yang saya ceritakan di atas bisa jadi tumbuh menjadi anak yang tertutup, menarik diri dari lingkungan sosial, mengembangkan sifat-sifat inferior (merasa rendah diri, tidak percaya diri), atau bisa jadi menjadi remaja yang antisosial karena sejak kecil menganggap dirinya telah tertolak dari lingkungan. Tentu saja hal ini tidak lepas dari faktor pengasuhan dari orang dewasa di sekitarnya. Jadi memang benar, fase perkembangan sebelumnya memberi andil dalam mewarnai bagaimana seseorang berkembang pada fase berikutnya. Tidak berarti seseorang yang mengalami masa perkembangan kanak-kanaknya negatif kemudian menjadi orang dewasa yang bermasalah, akan tetapi jika masalah pada fase perkembangan kanak-kanak tidak segera dideteksi dan diberi intervensi, maka masalah perkembangan akan berlanjut hingga remaja dan dewasa.

Kita tidak hanya perlu memperhatikan anak-anak yang mengalami social pressure atau tekanan sosial dari teman sebayanya, tetapi juga pada anak yang berpotensi melakukan tekanan sosial tersebut, seperti anak yang tempramental, terlihat bossy, agresif, dan memiliki egosentris yang berlebihan. Pada dasarnya, anak-anak memerlukan perhatian yang wajar dari orang dewasa di sekitarnya. Tanyakan bagaimana aktivitas dia hari ini, ngapain saja dia di sekolah, bagaimana perasaannya hari ini, ada teman yang bikin ulah nggak, atau adakah sesuatu yang membuatnya senang. Sederhana, bukan? Melatih anak untuk terbuka, berbagi cerita dan berteman dengan orang dewasa seperti orang tua, kakak, om-tante merupakan langkah awal membentuk karakter positif pada anak, setidaknya melatih anak untuk melepas emosi tanpa aktivitas agresif.