Selasa, 16 Februari 2010

Belajar dari Ibuku


Ibu adalah sosok wanita yang berhati lembut.
Anak siapa yang tidak akan mengakui kelembutan hati ibunya? Belahan jiwanya, muara hatinya, pelita hidupnya... Nah, ibuku adalah salah satu dari sekian wanita itu.
Kebiasaannya memanggil pedagang asongan, membeli dagangannya hanya sekedar memutar siklus perekonomian masyarakat menengah kebawah, alias karena kasian.
"Dek, ambilkan sepatu ibu yang coklat, yang 'mangap' itu lho. Biar dijahit sama bapak tukang sol di depan." padahal sepatu itu sudah tidak pernah dipakai lagi, dan sepertinya kalau dijahit-pun tetap tidak akan dipakai lagi. Tapi ibu menjaga harga diri si bapak, agar tidak menerima uang sekedar belas kasih, sedekah, atau apapun namanya.
Atau saat di kereta dalam perjalanan pulang dari Jakarta. Yang awalnya tidak niat bawa oleh-oleh banyak, eh... turun dari kereta kreseknya jadi berat, gara-gara beli lanting, getuk goreng, bahkan lotek dari pedagang asongan. Juga sore tadi saat hujan turun, tiba-tiba rumah diketuk oleh nenek penjual sayuran. Setelah belanjaan ibu dihitung dan divonis sebanyak delapan ribu rupiah, ibu kaget. Bukan karena kemahalan, justru karena terlalu murah. Maka ibu bersikeras agar belanjaan dihitung detilnya. "Itu jeruk berapa? Wortel sama tomat berapa? Terus cabe segitu berapa? Jangan sampe rugi lho, Bu..." bahkan ibu menyuruhku membantu menghitungkan harga belanjaannya saat beliau beranjak ke belakang untuk mengambil uang. Tapi memang sih, terlalu murah harga sayuran si nenek. Di saat harga tomat sebiji di Jakarta seribu rupiah, di sini seribu dapat enam biji, gede-gede pula. Maka saat ibuku menyodorkan selembar sepuluh ribuan, beliau meminta si nenek menyimpan kembaliannya.


Sering-kah kita memperhatikan orang-orang seperti pedagang sandal kayu alias "theklek" yang memikul barang dagangannya yang sedang mengaso di bawah pohon, sambil mengelap peluhnya dengan handuk kecil kumal, mencoba menyelami benak mereka, sudah berapa pasang theklek yang kujual hari ini?
Atau bapak tua pengayuh becak yang memarkir becaknya di tepi jalan, yang berkeringat dan mendudukkan badannya di dalam becaknya setelah mengitari kota yang dipenuhi mobil-mobil pribadi dan sepeda mootor, sambil mulai memejamkan mata dan bermimpi, berharap nanti akan dibangunkan oleh calon penumpang yang minta diantarkan ke suatu tempat.
Atau pedagang es puter keliling yang berteduh di emper toko karena hujan, sambil mengira-ngira, sudah berapa rupiah yang ia kumpulkan hari ini? Cukupkah untuk biaya makan?
Atau pedagang kacang dan jagung rebus yang yang suara gemerincing gerobaknya masih bisa terdengar hingga pukul sebelas malam, sambil membayangkan, anak-istrinya tidur kedinginan di rumah, menanti kepulangan ayah dan suami mereka, padahal dagangannya masih menggunung bertengger di atas gerobaknya.

Sering kali kita tidak memperhatikan kemana perginya uang dari kantong kita. Untuk membelanjakan di mana barang-barang keperluan kita.
Apakah membeli barang-barang di supermarket, hypermarket, ataukah di warung-warung tetangga kita, padahal selisihnya tak lebih dari seribu rupiah. Biaya ongkos ke mall saja lebih mahal dari selisih harga belanjaan kita.
Apakah membeli sayur di supermarket lagi, atau memilih pergi ke pasar tradisional, hanya karena kita tak rela melangkahkan kaki di tempat becek, sedikit bau dan panas.
Apakah membeli nasi di restoran franchise dari luar negeri, ataukah memilih mampir di warung sederhana atau di angkringan, hanya sekedar mempertahankan gengsi yang tingginya tak melebihi tanaman cabe.
Tangan siapa yang nantinya menerima uang gaji kita, para pedagang kecil yang untuk mendapatkan keping ratusan harus survival, atau kepada pengusaha mall yang menggusur pasar dan warung kelontong?

Sepertinya aku harus banyak belajar menjadi orang yang peka, seperti ibuku.

3 comments:

Akhyari Zudhi mengatakan...

sayang,ibu masa kini lebih suka belanja @modern market & hobi shopping @butik&mal, lebih karena hanya ingin dinilai modern, gaul&sebutan2 lainnya..

shobria nurul mengatakan...

ibunya aja udah kaya' gtu, gimana anaknya, ya... (mengingat, sumber utama teladan anak adalah orangtua), :-(

Akhyari Zudhi mengatakan...

ya bisa dilihat di mal2 dan pusat perbelanjaan, bioskop2...ya semacam itulah.

Posting Komentar