Ah, kita memang tidak bisa mengharapkan setiap orang menjadi baik 100%. Kita memang tercipta sebagai makhluk dengan sebaik-baik penciptaan, tetapi manusia tetap memiliki dua sisi, dua mata panah, dua kecenderungan untuk menjadi fujuur dan taqwa. Buruk dan baik. Bahkan dengan kepemimpinan Rasulullah yang sebaik-baik pemimpin dan manusia, masih ada segelintir orang munafik di antara kumpulan orang mukmin. Bahkan Sayyidina Umar bin Khattab yang melakukan perjalanan di malam hari masih menemukan seorang ibu yang memasakkan batu untuk anaknya. Dan kondisi negeri kita saat ini jauh sekali dibanding negeri yang pernah dipimpin Umar ataupun Rasul. Mengapa kita belum menemukan pemimpin yang seperti mereka? Kalau saja ada seorang pemimpin seperti Umar bin Abdul Aziz di negeri kita, mungkin tiga tahun lagi negeri kita akan berubah menjadi negeri impian.
Senin, 20 Desember 2010
Negeri Impian
Ah, kita memang tidak bisa mengharapkan setiap orang menjadi baik 100%. Kita memang tercipta sebagai makhluk dengan sebaik-baik penciptaan, tetapi manusia tetap memiliki dua sisi, dua mata panah, dua kecenderungan untuk menjadi fujuur dan taqwa. Buruk dan baik. Bahkan dengan kepemimpinan Rasulullah yang sebaik-baik pemimpin dan manusia, masih ada segelintir orang munafik di antara kumpulan orang mukmin. Bahkan Sayyidina Umar bin Khattab yang melakukan perjalanan di malam hari masih menemukan seorang ibu yang memasakkan batu untuk anaknya. Dan kondisi negeri kita saat ini jauh sekali dibanding negeri yang pernah dipimpin Umar ataupun Rasul. Mengapa kita belum menemukan pemimpin yang seperti mereka? Kalau saja ada seorang pemimpin seperti Umar bin Abdul Aziz di negeri kita, mungkin tiga tahun lagi negeri kita akan berubah menjadi negeri impian.
Senin, 06 September 2010
Lelaki Buta dan Lelaki Renta
Motornya masih melaju perlahan di persimpangan jalan. Tiba-tiba ia dikagetkan dengan dua orang yang menyeberang jalan. Sontak ia mengerem sepeda motornya. Untung saja rem-nya cakram sehingga motornya berhenti seketika. Ia hanya bisa memaki perlahan, karena ternyata dua orang yang menyeberang adalah anak lelaki kecil yang menarik sebilah tongkat yang digunakan seorang lelaki buta sambil menenteng beberapa kemoceng. Rupanya pedagang kemoceng.
Ia kemudikan lagi motornya sampai berhenti di lampu merah di sebuah perempatan jalan. Masih 120 detik lagi menuju lampu hijau. Ia melihat seorang lelaki renta memakai baju abu-abu, ia menduga baju itu tadinya berwarna putih yang sekarang telah lusuh. Lelaki itu duduk bersandar tiang lampu lalu-lintas sambil mengipas wajah dan lehernya dengan topi sambil menyanding beberapa lembar kertas tebal berukuran A3 bergambar binatang, buah-buahan, dan alat transportasi, serta beberapa buku mewarnai. Enampuluh detik pemuda itu memperhatikan lelaki renta sambil sesekali benaknya teringat lelaki buta yang menenteng beberapa kemoceng yang berjalan digandeng oleh seorang bocah tadi. Lamunnya tersentak tiba-tiba dan ia segera memanggil si bapak renta itu. "Pak...Pak..., minta kertasnya sama bukunya dua ya." dan si bapak langsung berdiri dan menghampiri pemuda sambil membawakan barang pesanannya. "Delapan belas ribu, Mas..." katanya. Pemuda itu merogoh sakunya dan hanya mendapati selembar limapuluhribuan. Ia serahkan pada si bapak dan ia merogoh-rogoh saku kemeja lusuhnya untuk mencari kembalian. Tetapi waktu detik pada lampu merah menunjukkan angka satu dan pengemudi kendaraan di belakangnya sudah mulai membunyikan klakson. Pemuda tadi langsung berkata, "Sudah, Pak. Untuk Bapak saja..." kontan wajah si bapak berubah seketika dan ia hanya bisa berkata, "Terima kasih, Mas..." sambil memandangi pemuda itu dengan tatapan mata setengah tidak percaya.
Pemuda itu langsung melaju menyambut lampu hijau. Seratus meter setelah ia melalui lampu merah tadi, ia menggumam, "Lelaki buta dan lelaki renta saja masih bersemangat menjemput rizki-Mu. Maka tak ada alasan bagiku untuk berangkat ke kantor dengan keluh kesah dan wajah lesu esok hari. Allah, terima kasih Engkau telah mengingatkanku hari ini..."
Selasa, 18 Mei 2010
BUNDA...Aku bawakan roti laba-laba !
sebuah kisah dari seorang guru: Bunda Pihasniwati, Psi.
`Bunda...Bunda...!` teriak dua cahaya hatiku saat selepas magrib, aku baru tiba di rumah ...
`Assalamualaikum Kakak...Adek...` balasku heboh...seperti biasa upacara pertemuan kami setelah sehari berpisah...`Bunda...aku bawakan bunda sesuatu..`, lanjut putriku sang Kakak. `Oya...senangnya..`, teriakku..dia berlari ke arah tasnya dan dengan gaya seperti seorang pesulap yang mengeluarkan hasil sulapannya, dia berteriak `Taraaang...` dengan dua potong kue yang masih setengah terbungkus kertas minyak... segera kusambut bungkusan kecil itu dengan senyum dan kubuka lebih lebar...huaa...ternyata bersemut ..spontan aku membersihkannya dan agak menjauhkannya dari posisi kami semula..`Yah...kue laba-labanya sudah melempem..sudah semutan..Bunda pulangnya telat siih`, keluh putriku..`padahal tadi siang masih kriuk-kriuk dan cantik..`, lanjutnya. dengan ujung mata kutangkap gurat sesal di wajahnya.segera kutimpali `Terimakasih kakak, Bunda senang sekali...kue laba-labanya masih cantik kok..semutnya bisa bunda bersihkan..` ujarku..terselip rasa haru..terkesan dan tersanjung.. Memang sudah hampir sebulan kak Thifa sering menceritakan tentang kue laba-laba yang sering datang ke sekolahnya saat jam kepulangan sekolah. dan dia sangat ingin membawakannya untukku. pernah sekali waktu ia membawakanku satu sachet susu kental manis, dan berkata `Bunda, maaf ya..kue laba-labanya habis..., aku ganti dengan susu kental manis ya.., kapan-akapan aku belikan..habisnya tadi laris banget..`. dan hari itu dia berhasil membawa pulang dua potong kue laba-laba, seharga seribu rupiah...masih dengan perasaan nyaman, sang adik ikut merayakan kaberadaan kue laba-laba dengan mencuilinya..`Wah enak.., aku minta ya..`, katanya lucu...
Terimakasih Nak...Terimakasih untuk setiap pengalaman yang bunda diizinkan untuk menyadari dan mensyukurinya... `Allah salam untuk anak-anakku..sampaikan cinta ku ke relung-relung hatinya..., betapa kurindu mereka menjadi semakin mulia..`
Kamis, 13 Mei 2010
Para Pejuang Ilmu
Tapi bagi saya, perkataan, "Tuntutlah ilmu walaupun harus bersepeda puluhan kilo" sangat menginspirasi. Mengingat dulu jaman SD dan SMP (sebelum sepeda saya hilang, hiks...) saya juga termasuk pejuang bersepeda. Tapi, kisah tiga teman saya ini benar-benar membuat semangat saya berkobar sekaligus kapok.
Salah seorang teman saya rumahnya berada di daerah pegunungan dan jaraknya sekitar 20 km (atau lebih, ya... saya belum menghitungnya) dari kampus. Setiap hari ia selalu mengayuh sepedanya untuk mengikuti kuliah dan beraktivitas di kampus. Kalau kuliah dimulai pukul 7.30, ia akan mulai duduk di atas sadel-nya pada pukul 6.00. Saya tidak membayangkan, bagaimana perjalanan pulangnya. Sudah capek, harus melalui jalan menanjak pula... Pegal? Jelas... Berkeringat? Tentu... Ngos-ngosan? Ya iyalah... apalagi kalau ada kuis, pasti ia berusaha untuk tidak datang terlambat. Capek? Bayangkan saja jika Anda sendiri yang melakukannya...
Tapi yang jelas, semangat belajarnya masih membara. Dan ia adalah salah satu mahasiswa berprestasi dan berdedikasi tinggi terhadap almamater.
Teman saya yang lain, tempat kosnya tidak sejauh teman saya yang pertama. Tetapi badannya tinggi dan besar sedangkan sepeda federal yang ia naiki tampak kecil sehingga kalau melihatnya mengayuh, kakinya akan terlihat menekuk terus. Bayangkan saja mengayuh sepeda yang kecil sepanjang 10 km, bagaimana pegalnya kaki. Dan sampai di kampus, ia masih punya banyak energi untuk berbagi pengalaman dengan teman-temannya, berdiskusi, dan aktif bertanya di kelas. Pokoknya staminanya untuk berbicara, luar biasa.
Teman saya yang ketiga, rumahnya juga tidak sejauh teman saya yang pertama. Tetapi dia ini perempuan berbadan kecil. Kalau dua teman saya tadi adalah laki-laki yang notabene kekuatannya lebih besar. Setiap hari harus mengayuh sepeda 15 km, sedangkan seluruh badannya tertutup dengan busana muslimah. Bayangkan saja betapa panasnya... Tetapi sekali lagi, ketiganya punya prestasi yang patut dibanggakan. Nilai kuliah yang tidak pernah C (B/C pun sepertinya tidak ada...), jago berbicara di depan forum, pandai menulis, dan satu hal lagi: fisiknya oke...
Saya jadi ingat kisah Lintang yang diceritakan dengan sangat menarik dan heroik oleh Andrea Hirata. Kisah perjuangan mencari ilmu bagi saya jauh lebih memberi makna daripada kisah perjuangan mencari uang. Karena ilmu adalah hal abstrak dan uang adalah sesuatu yang konkret. Mengejar sesuatu yang abstrak pasti lebih banyak pengorbanannya.
Suatu hari, berbekal semangat yang tertular oleh mereka tetapi tanpa persiapan (mengingat saya sudah 5 tahun tidak bersepeda. Wah... bener-bener kapok, saya...) saya pernah mencoba meniru mereka dengan melakukan hal yang sama. Jarak rumah saya kurang-lebih 10 km dari kampus. Sehari saya pernah bersepeda dari rumah ke kampus, pulangnya mampir ke SMA, lalu menuju rumah. Hasilnya?? Semangat belajar saya memang tidak mengendur, tetapi persendian kaki saya rasannya seperti pintu yang mau copot engselnya... otot-otot mengencang, terkadang mati rasa. Ibu saya sampai harus memijatnya selama dua hari, plus harus memakai balsem dan koyo cabe selama 3 hari. Kakak saya yang melihatnya, geleng-geleng kepala sambil menyanyikan jingle iklan koyo yang dulu pernah tampil di TV, "...badan pegel linu, semangat terus maju. badan lemah lesu, tiiiittt.... (sensor--merek koyo, red) semangatku..."
Selasa, 04 Mei 2010
Inilah Pasangan Abadi Abad Ini...
Sore tadi aku bertemu dengan bapak pegawai di SMAku dulu. Pak Harsono namanya. Orangnya kecil, lincah geraknya, keras tawanya, cepat nada bicaranya, dan sudah lumayan banyak usianya. Kutebak mungkin sekarang sekitar 60-70 tahun. Istrinya juga mungil, mengingatkanku pada ibuku yang mungil juga. Beliau berjualan bakmoi di kantin sekolahku, yang hampir selalu kusantap tiap kali aku punya uang saku cukup. Salah satu alasanku suka makan di kantin Bu Harsono adalah aku suka memperhatikan cara beliau membuatkan bakmoi untuk anak-anak SMA, mengingatkanku pada ibuku yang dulu pernah jualan soto di depan rumah.
Mereka ini juga pasangan yang kompak. Si bapak ini sering membantu istrinya ketika jualan. Pernah suatu hari si ibu mengeluh lelah pada bapak, lalu bapak menyuruh ibu istirahat dan menggantikan jualan. Tapi, begitu ada anak yang mau beli bakmoi, si bapak tanya-tanya terus, "Bu, nasinya segini? Bu, bawang gorengnya mana ya?" akhirnya si ibu berdiri lagi deh...
Sore tadi aku bertemu dengan Pak Har di Jalan Parangtritis saat aku hendak pulang dari tempat fotokopi-an. Kali ini beliau berjalan kaki dan sendirian saja. Ternyata tempat fotokopi-an itu dekat dengan rumah beliau, hanya berjarak beberapa rumah. Aku sapa beliau, ternyata beliau masih mengenaliku.
"Mampir ke rumah saya, Mbak. Dekat kok. Itu di sebelah kantor pos."
"Iya, Pak. Terima kasih, lain kali aja. Kepingin juga ketemu sama Ibu. Sungkem buat Ibu ya, Pak."
"Wah, Ibu itu sudah ndak ada je. Sudah sejak gempa, selang satu minggu."
"Innalillahi wa inna ilaihi roji'un....aduh, Pak... Ngapunten... maaf, saya ndak tau kalau Ibu sudah ndak ada."
"Nggak apa-apa, Mbak. Setelah gempa itu, ibu terus sakit, livernya nggak kuat."
"Lha yang jualan di kantin sekarang siapa, Pak?" aku langsung teringat dengan bakmoi ibu.
"Mantu saya. Waktu saya tawari, mau nggak, menggantikan ibu jualan? Kalau mau, biar bapak tetap di sekolah, kalau nggak mau, ya biar bapak nggak kerja di sekolah lagi. Ternyata dia mau."
Alhamdulillah, ternyata menantu pak Har mau menggantikan ibu. Lega hatiku, karena bapak masih bisa bernostalgia dengan dengan tempat yang menyimpan banyak kenangan bersama ibu di sekolah.
Ah, Pak Har dan Bu Har. Aku tidak akan pernah melihat lagi kemesraan kalian di atas sepeda. Kemesraan yang hingga saat ini dan nanti akan tersimpan abadi di boncengan walaupun Ibu sudah tiada.
pictures are taken from here and here
Sabtu, 01 Mei 2010
Online vs Live
Bagaimanapun juga, bertemu dengan orang-orang secara live terasa lebih menyenangkan dibandingkan dengan sekedar "bercengkerama" tanpa bertatap muka. Bukannya "ngobrol" lewat FB, twitter, ataupun saling berkirim komentar lewat blog itu tidak asyik, tapi berinteraksi secara langsung akan lebih melibatkan emosi kita secara total, merasakan emosi orang lain, bisa merespon sinyal-sinyal verbal dan nonverbal secara langsung sehingga kita bisa belajar dari sebuah relasi, apapun itu. Belajar berkomunikasi, memahami orang lain, mengakomodasi apa yang diinginkan oleh orang lain, menyampaikan keinginan kita pada orang lain, dan banyak lagi yang lain.
Namun, berbagi pengalaman pada orang lain, (yang tidak bisa kita lakukan secara live setiap saat sehingga kita terdorong untuk menuliskannya di blog atau update status di situs jejaring sosial) juga tidak kalah menyenangkan. Menunggu respon dari orang lain, entah itu positif, negatif, memberi masukan, mencecar, itu juga bagian dari berkomunikasi dan kita tetap bisa belajar banyak dari itu.
Hanya saja, sekedar mengingatkan pada diri sendiri dan orang-orang di sekitar saya agar seimbang dalam bersosialisasi. Online ataupun secara live, hendaknya proporsinya sesuai. Agar tidak melulu update status di facebook/twitter, tapi orang di sekitarnya jadi terabaikan. Atau yang belum sempat membagi pengalamannya dengan menulis di blog (seperti saya yang nulisnya masih kumat-kumat-an ini, hehe...) agar menyempatkan diri untuk menulis supaya pengalaman yang berharga menjadi bermanfaat dan bisa diambil hikmahnya oleh orang lain.
picture taken from: http://picasaweb.google.com/hupo001/2009WinterLandscape#5314164467582312498
Minggu, 11 April 2010
Alifa, Let's Sing Together...
My dearest niece Alifa, let's sing a beautiful song together. It called "Subhanallah", a song from Muslim Nursery Rhymes that is wrote by aunt Fatima Majeed. You dont't know the song yet? Ok, let's sing it together...
Senin, 29 Maret 2010
You Are Allah
Minggu, 28 Maret 2010
Allah Turunkan Hujan
Sabtu, 27 Maret 2010
Sensitif, Perlu Itu (Bag. 2)
- Buku. "A Child Called It" karangan David Pelzer berhasil membuat saya terenyak selama tiga hari dengan kantung mata tebal dan lengan baju selalu basah karena dipakai menyeka, tetapi saya tidak bisa meletakkan buku ini dan berhenti membacanya. Buku ini menuturkan kisah nyata pengalaman sang penulis tentang masa kanaknya yang menyedihkan. Ia merupakan korban kekerasan sadis (child abuse) dari ibu kandungnya sendiri yang mengalami ketidakseimbangan mental. Hari-harinya dilalui dengan berbagai penyiksaan ibunya, mulai dari dikurung dalam basement, dipaksa berbaring di atas kompor panas, dipaksa memakan kotorannya sendiri, meminum cairan pembersih kloset, sampai ditusuk perutnya menggunakan pisau. Tidak hanya itu, si ibu juga orang yang manipulatif, sehingga para tetangga dan guru di sekolah dibuat tidak mempercayai keterangan anaknya, sebaliknya malah menganggap David ini adalah anak nakal. Bahkan sekuelnya (The Lost Boy) juga membuat airmata sedikit meleleh. Buku ini saya baca dulu saat SMP, sambil jaga warung. Beberapa pembeli heran melihat saya meladeni mereka dengan mata sembab (mudah-mudahan tidak dikira pembantu yang disiksa majikan, hehehe...)
- Film. "I am Sam" yang dibintangi Liam Neeson dan Dakota Fanning juga menguras air mata. Perjuangan seorang ayah yang menderita retardasi mental dalam memperjuangkan hak asuh atas anak tunggalnya menjadi inti cerita. Sang ayah yang telah berusia 30-an memiliki usia mental layaknya anak 8 tahun. Maka sesuai putusan pengadilan, ketika sang anak menginjak usia 8 tahun, ia harus diambil oleh dinas sosial karena dikhawatirkan sang ayah tidak dapat melakukan pengasuhan atas anaknya. Namun ikatan batin yang kuat tidak dapat memisahkan mereka. Maka sang ayah mati-matian membuktikan pada pengadilan bahwa ia mampu menjadi ayah yang baik. Mendapat pekerjaan sebagai pelayan kedai kopi dan pengurus anjing peliharaan, mampu mengurus rumah tangga, belajar mengoperasikan alat-alat rumah tangga, dan menunjukkan perilaku dan emosi layaknya orang dewasa. Begitu juga sang anak yang berusaha membantu ayahnya dengan selalu menutupi kekurangan ayahnya, membantu menghafal jenis kopi yang dijual sang ayah, membereskan rumah, dll. Sulit diceritakan, menarik untuk ditonton ^_^
- Tayangan Televisi. "Jika Aku Menjadi" tepatnya pada bagian akhir acara, ketika keluarga yang ditempati sang tamu mendapat hadiah dari tim JAM. Hiks...hiks... banjir air mata deh... Y_Y
- Lagu. "The Last Breath" yang dilantunkan Ahmad Bukhatir menciptakan kesan yang bercampur: ngeri, sedih, dan semangat sekaligus. Liriknya ada di postingan saya terdahulu.
- Pengalaman. Pengalaman saya bertemu dengan seorang nenek tua yang masih harus berjualan menghidupi keluarganya, padahal berjalan saja beliau sudah kesusahan. Juga dengan seorang bapak tua dan mengalami cacat fisik, tetapi ia masih gigih menjajakan koran dan hasta karya di perempatan dekat Lapangan Mandala Krida. Semoga Allah menghadiahinya kemuliaan di dunia dan akhirat, amiin. Hhhh.... lagi-lagi membuat saya menangis...
Jumat, 26 Maret 2010
Sensitif, Perlu Itu (Bag. 1)

Sensitifitas memang perlu dibangun. Empati wajib ada dalam setiap diri kita, tak peduli laki-laki atau perempuan. Kalau perempuan sih memang stereotype dan identik dengan hal-hal berbau emosional, mewek-mewek, cengeng, dan lebih menangis dibanding kaum laki-laki. Tetapil laki-laki juga sesekali harus menikmati emosi kesedihan, merasa lemah, dan menitikkan air mata. Terserah apakah mau menikmati dengan berbagi dengan orang lain, sendirian mengurung di kamar, atau sembunyi di semak biar tidak ada yang tahu. Wanita pun tidak selalu ingin menampakkan air matanya. Saya malah termasuk yang anti menangis di depan laki-laki, tidak rela kalau dibilang cengeng :). Tapi dengan menghayati emosi sedih (salah satu emosi dasar manusia), maka ketika kita berhadapan dengan orang lain yang sedang bersedih, kita bisa bersikap dengan sesuai, menyelaraskan emosi kita. Itu yang dinamakan membangun empati. Begitu pula dengan menitikkan air mata. Menangis adalah salah satu cara katarsis (pembersihan/peluapan emosi atau menghilangkan beban mental) yang sederhana karena kita tidak memerlukan objek lain sebagai pelampiasan, seperti memukul sesuatu. Orang yang berhasil menuntaskan emosi-emosi negatifnya, itulah yang disebut dengan sehat secara mental. Dengan merasa lemah, maka kita terhindar dari kesombongan, selalu sadar bahwa kita hanyalah makhluk yang memiliki keterbatasan, dan selalu ingat bahwa ada kekuatan Yang Maha, yang hanya dimiliki oleh Sang Khalik. Hanya pada-Nya lah kita memohon agar kita diberikan kekuatan untuk menghadapi cobaan.
Tanpa adanya pengalaman emosi seperti itu, mungkin saja kita akan menjadi orang yang tega menendang seorang fakir-miskin yang meminta pertolongan. Atau kita akan melenggang kangkung dengan wajah yang kita dongakkan ke atas saat melihat anak yatim yang tak terurus. Maka lengkaplah gelar yang kita sandang sebagai pendusta agama (simak kembali QS Al-Ma'un).
Rasa empati perlu dilatih. Bahkan sejak kanak. Itulah sebabnya setiap orangtua mengajarkan anaknya untuk saling berbagi, menolong yang tidak mampu, memunculkan rahman dan rahim pada setiap anaknya. Mudah-mudahan saya bisa mengajarkan pada anak-anak saya kelak, bagaimana menjadi orang yang humble, empatik, dan peduli. Amiin...
picture is taken from http://www.trekearth.com/gallery/Middle_East/Kuwait/East-Central/Hawalli/photo425662.htm
Kamis, 25 Maret 2010
Oalah, Nak...
Huwee...anak kelas empat esde hobby sama Bunga Citra Lestari? Yang suka nyanyi lagu cinta-cintaan itu? Oh My God... what a pity... Kenapa mereka tidak punya profil figur yang seusia dengan mereka? Saya jadi berpikir ulang, iya ya, kok nggak ada lagu yang pas untuk anak seusia mereka... Masa' anak umur 9 tahun menyanyi lagu cinta dengan fasihnya, dengan kata-kata romantis tapi gombal...dan mereka tidak tahu makna dari nyanyian itu... Mengapa mereka tidak bernyanyi tentang cita-cita, tentang persahabatan mereka, tentang ayah dan ibu, atau tentang pengalaman keseharian mereka...
Haduu...padahal perkembangan kecerdasan bahasa anak kan dibentuk lewat nyanyian, bacaan, dan tayangan yang mereka konsumsi setiap hari. Kalau anak-anak ini tidak punya lagu khusus untuk segmen mereka sendiri, bagaimana nasib perkembangan bahasa dan emosi mereka, ya? Masa' kecil-kecil nyanyinya "...cinta inii..., membunuhkuu..." atau, "...engkaulah makhluk Tuhan, yang tercipta yang paling seksi...ah...ah...ah...".
Kira-kira rasa bahasa yang seperti apa yang mereka serap dalam otak dan hati mereka?
Selasa, 23 Maret 2010
When It Comes The Time We Have to Prove, So Prove It !
Berbahagialah salah seorang sahabat saya, yang semasa hidupnya diberi kesempatan oleh Allah untuk menunjukkan rasa bakti mereka pada ibunya dan yang saya tahu mereka menunjukkannya dalam porsi yang lebih, dibanding saya dan teman-teman yang lain sehingga saya bisa belajar darinya. Ia adalah anak bungsu dan ia menunjukkan bahwa anak bungsu dengan stereotype manja bisa berubah menjadi anak yang sangat bertanggungjawab dan mandiri. Semua kakaknya mendapat pekerjaan yang mengharuskan mereka hidup berjauhan dari keluarga sehingga tinggallah ia dan ayah-ibunya di rumah. Pada saat ia di tahun ketiga kuliah, ayah dan ibunya mulai sakit-sakitan secara bersamaan. Tempat kuliahnya di luar kota dan ia harus pulang-pergi setiap hari menempuh perjalanan sejauh hampir 100 km untuk kuliah. Ia tidak bisa indekost karena ayah-ibunya harus periksa kesehatan di rumah sakit beberapa hari sekali. Lama-lama sakit orangtuanya semakin parah, dan harus pulang-pergi ke berbagai Rumah Sakit di beberapa kota, sampai-sampai ia tidak pernah pulang ke rumah, melainkan harus bolak-balik ke rumah sakit dan ke kampus. Sering ia kelelahan karena dua urusan yang berat, tugas-tugas kuliah dan mendampingi orangtua. Kakaknya yang telah bekerja sehingga tidak bisa seenaknya saja bolak-balik mendampingi orangtuanya yang keluar-masuk rumah sakit, sehingga sahabat saya inilah yang tidak melepaskan pengawasannya pada ayah-ibunya. Beban ini tidak semua orang diberi jatah memikulnya.
Beban lain yang tidak dapat terlepas adalah banyaknya biaya yang ia butuhkan untuk menjalani kehidupannya yang berat. Biaya pengobatan kedua orangtuanya yang tentu tidak murah, biaya transportasi hingga ke luar kota, termasuk dirinya sendiri, dan biaya kuliahnya. Ia bukan mahasiswa yang beruntung mendapatkan beasiswa sehingga semua itu harus ditanggung secara swadaya. Memang beberapa kakaknya telah bekerja, dan bukannya mereka tidak mengusahakan biaya itu. Tetapi usaha mereka telah maksimal dan tetap saja tidak dapat langsung menutup biaya pengobatan untuk dua orang dengan sakit kronis yang cukup berat sehingga dengan terpaksa mereka menurunkan ego untuk meminta pinjaman sana-sini. Dan ini semua ia hadapi dengan selalu tersenyum di depan semua orang dan menyimpan tangisnya untuk dirinya sendiri.
Hingga pada suatu saat, sakit ibunya semakin parah di saat sakit ayahnya belum sempat membaik. Selama hampir dua minggu ia menunggui ibunya di rumah sakit, beberapa hari di ICU. Ia tak dapat menghubungi siapa-siapa sehingga ia harus mengurus administrasi dan menunggui ibunya sekaligus. Beberapa hari dirawat, sang ibu sempat membaik. Alhamdulillah, hati siapa yang tak senang? Ia bisa tertawa-tawa dengan sang ibu. Akan tetapi kondisi sang ibu kembali memburuk hingga tiba suatu hari Sang Khaliq memanggilnya. Innalillahi wa inna ilaihi roji'un...
Saya sangat banyak mengambil hikmah dari sahabat saya yang satu ini. Setiap mengenang kembali kisah-kisahnya bersama sang ibu, membuat saya ingin segera menemui ibu saya yang masih ada dan menunjukkan bahwa saya sangat bertekad untuk berbakti pada beliau.
Sahabatku, tangismu yang tak pernah kau bagi akan berubah menjadi air mata bahagiamu di akhirat.
Segala kepayahanmu membuatmu menjadi anak yang shalihah, dan menjadikan doamu sebagai jariyah yang meringankan perjalanan ibumu di alam barzah. Mungkin sekarang Ibumu sedang merasakan hangat dan tersenyum merasakan doamu. Allaahummaghfirli wa li waa lidayya warhamhuma kamaa robbayaanishaghiiraa...
Sabtu, 06 Maret 2010
They Come
They came when we can't fight our fears
But laughs...
They came when we're in the first place and becoming tough
And smiles...
They came when we can pass the obstacle in hundred miles
Both will never enough
Selasa, 23 Februari 2010
O…ow…
Buka-buka blog lama, kok nemu kenangan masa lalu. Bikin ketawa sendiri, hihihi... biar ketawanya ga' sendiri, posting lagi aja ke sini...
Pernah merasa sangat konyol setelah melakukan kesalahan atau kecerobohan?
Rabu, 17 Februari 2010
Baca, Sana..!!
Selasa, 16 Februari 2010
Belajar dari Ibuku

Ibu adalah sosok wanita yang berhati lembut.
Selasa, 09 Februari 2010
DEPRESI

Pernah merasa sedih, tidak bahagia, atau seolah-olah ada palu yang dihantamkan ke dada dan kepala? Hal ini normal kita rasakan sesekali. Namun jika perasaan ini terasa amat sering dan tidak bisa dihilangkan sehingga membuat manusia merasa tidak berfungsi seperti biasanya. Perasaan sedih yang begitu mendalam inilah yang disebut depresi yang sebenarnya. Satu dari empat wanita dan satu dari delapan pria mengalami satu episode depresi dalam hidupnya.
Depresi bagaikan musuh dalam selimut, gejalanya sulit dideteksi. Kita hanya bisa mengetahui perlahan-lahan perasaan sedih yang membawa manusia, secara bertahap mengubah cara berpikir, merasa, bereaksi, dan mengubah pribadi manusia.
Depresi ini merupakan masalah serius dan akhir-akhir meningkat di kalangan usia muda.
APA ITU DEPRESI?
Oke, karena saya bukanlah seorang dokter atau psikiater, maka saya akan menjelaskan depresi dengan sebuah analogi, seperti yang dikemukakan oleh Dr. Joseph Rey dalam bukunya “More Than Just the Blues”.
Bayangkan Anda berada dalam ruangan yang ber-AC. Temperature ruangan terasa sejuk dan Anda merasa nyaman dan dapat beraktivitas dengan baik. mungkin termostatnya (alat pengatur/pengimbang suhu) menunjukkan angka 18 atau 20 derajat Celcius. Namun jika termostat rusak dan mengubah temperature menjadi sangat rendah, katakanlah 4 derajat Celsius, maka Anda akan mearasa sangat tidak nyaman, bahkan seakan-akan beku dan tidak dapat bekerja dengan baik. hal ini serupa terjadi jika Anda mengalami depresi.
Kita memiliki suatu mekanisme layaknya termostat dalam otak yang mengontrol mood. Sebagai hasilnya, perasaan kita berada dalam range normal: kita bisa merasa senang atau sangat senang pada saat hal baik terjadi; atau juga merasa sedih suatu saat kita merespon situasi yang tidak menyenangkan. Kondisi naik-turun ini tidak berlangsung lama dan biasanya kita kembali pada atmosfer yang stabil setelah beberapa saat.
Seseorang menjadi depresi saat mekanisme ini rusak. Saat “mood thermostat” mengatur temperature emosional pada level yang sangat rendah, hal ini membuat ia berpikir, merasa, dan bereaksi secara negative dan tanpa harapan. Bayangkan saja ini seperti saat Anda bangun tidur dengan memakai kacamata hitam. Anda melihat semua serba abu-abu, gelap, dan suram. Banyak orang dalam situasi seperti ini berpikir bahwa ada yang salah dengan diri mereka, padahal sebenarnya yang terjadi adalah, sesuatu yang salah sedang menimpa diri mereka.
Yang perlu ditekankan adalah depresi bukan disebabkan oleh kelemahan seseorang, ataupun kemalasan dan kurangnya kemauan. Ini merupakan suatu kondisi gangguan emosional yang bisa ditangani/ditreatmen baik secara medis dan/atau psikologis.
Last Breath (Akhmad Bukhatir)
