Selasa, 23 Februari 2010

O…ow…


Buka-buka blog lama, kok nemu kenangan masa lalu. Bikin ketawa sendiri, hihihi... biar ketawanya ga' sendiri, posting lagi aja ke sini...

Pernah merasa sangat konyol setelah melakukan kesalahan atau kecerobohan?

Beberapa hari lalu aku mengantar seorang teman ke stasiun. Siang itu kami ngobrol lama sembari menunggu kereta Prameks datang. Setelah si teman berangkat dengan keretanya itu, aku menuju tempat parkir untuk mengambil sepeda motor. Dengan disertai sapa dan senyum ramah, si tukang parkir menghampiri dan berkata, “Sudah mau pulang, Mbak?” maka akupun dengan menjawab dengan senyum ramah serupa, “Sudah, Pak.”
Aku keluarkan kunci motor, kumasukkan ke dalam lubang kontak. Kemudian aku mulai sibuk mencari-cari karcis parkir yang tadi kumasukkan ke dalam tas. Tasku memang tidak bersaku, hanya memiliki satu kantong besar yang semua barang kumasukkan ke dalamnya. Kuaduk-aduk seluruh isinya, tetapi tak kutemukan. Akhirnya aku hanya dapat memasang tampang memelas sambil berkata pada bapak tukang parkir, “Maaf Pak, karcisnya kok nggak ada, ya?”. Lalu si bapak bertanya, “Tapi ini motornya kan, Mbak?”. “Iya, Bapak (yah... si bapak gimana sih, kan kuncinya juga udah nancep). Mmmm…ini ada STNK(Surat Tanda Kendaraan Bermotor)-nya.” Langsung kukeluarkan STNK dari dalam tasku dan kuserahkan pada si bapak. setelah si bapak memeriksa nomornya, ternyata raut wajahnya berubah sembari berkata, “Kok nomornya beda, Mbak?” O…ow… ternyata STNK yang kuambil adalah milik ayahku-vespa. Aduuhh…tambah panik nih. Kalo aku dikira tersangka curanmor gimana, nih?? “Aduh Pak, maaf…maaf… STNK-nya tertukar sama bapak saya.” Memang pagi tadi aku terburu-buru mengambil STNK dari dompet ayahku dan tidak sempat mengecek nomornya.

Kuaduk-aduk lagi isi tasku, sambil sesekali mengarahkan pandanganku ke bapak parkir. Kepanikanku ternyata disambut dengan... seraut wajah tampan, indah mempesonaa... eh, bukaann... (kok malah nyanyi lagunya dewi persik, sih... ketauan penikmat dangdut, nih...) seraut wajah yang memicingkan matanya tanda agak (masih husnudzon) curiga. Ternyata setelah beberapa lama, kutemukan secarik karcis parkir berwarna putih dan langsung kuserahkan pada si bapak. Maka si bapak pun membiarkanku berlalu. Duuu... malunya aku.... Aku pun langsung menghidupkan mesin dan menutup kaca helm standarku agar tidak terlihat malu. Tapi, yang membuat aku amat sangat nggak enak hati, waktu si bapak menghampiri teman-temannya, ia berbicara dengan mimik wajah yang aneh sambil melihat ke arahku (lho, kok malah jadi suudzon begini, sih...astaghfirullah...).
Aduh-aduh….masak perempuan berjilbab sepertiku punya tampang mencuri motor, eh… mencurigakan, sih??? Even a person like me can be the suspect… Oh my God… Maafkan aku para muslimah, telah membuat image kalian agak (hehe...kalo' yang ini husnudzon sama diri sendiri) ternoda di depan tukang parkir stasiun Lempuyangan…




Rabu, 17 Februari 2010

Baca, Sana..!!

Kebiasaan membacaku terbentuk tidak secara alami. Bahkan aku dulu benci membaca. Padahal semua kakakku hobby membaca. Tapi aku ingat masa kecilku kuhabiskan dengan berlarian kesana-kemari, jarang belajar, konsentrasi payah, tulisan tangan jelek (kalo ini, sampai saat ini juga masih,...^_^). Bahkan, baca komik pun ogah, padahal gambar sama tulisan banyakan gambarnya. Sampai kakak pertamaku berkomentar penuh dengan ekspresi tak percaya dan posisi bibir yang mencibir, "Ih...masak disuruh baca aja nggak betah? Padahal komik..." (setidaknya, itulah yang aku ingat dan yang pernah diingatkan). Pernah, suatu saat, kakakku memberi satu bahan bacaan untukku, komik donal bebek. Baru disuruh baca lima menit, itu komik udah tergeletak, dan aku sudah berlarian ke sana-kemari. Pada saat ditanya kakakku, "Gimana ceritanya?" aku cuma bisa nyengir, *heee....*

Tapi lama-lama aku perhatikan juga, tiap kakakku pada kumpul, kok yang dibicarakan cerita yang aku nggak ngerti, ya? Penasaran juga. Ternyata, mereka ngerumpiin buku-buku yang dibaca. Wah, oke juga 'pancingannya'. Aku jadi ikut 'nyicip' baca apa yang mereka baca. Oh, ternyata seru juga. Mulai dari baca komik (bertahap, awalnya suka komik dulu), cerpen-cerpen yang ada di majalah Bobo, sampai buku-buku sejarah milik ayahku. Kemudian aku ingat disuruh baca novel setebal kira-kira 300-an halaman. Ceritanya tentang ekspedisi penyelamatan seekor gorilla bernama Ami ke negara asalnya, Kongo (yang kemudian menjadi nama julukanku, karena nama panjangku Shobria Nurul IslAMI, Y_Y) makanya novel ini diberi judul Congo, karangan Michael Crichton. Dan satu lagi, novel petualangan menegangkan seorang anak saksi peristiwa pembunuhan bersama pengacara pro-bono-nya, berjudul The Client, karangan John Grisham. Kedua buku itu kulahap saat aku duduk di bangku kelas lima SD. Wah, rupanya treatment kakakku berhasil. Dalam waktu dua tahun (terhitung sejak aku kelas 4 sampai akhir kelas 5), mulai dari benci baca komik, sampai bisa menyelesaikan novel setebal 300 halaman. Sejak saat itu, aku ikut mengantri baca kalau ada buku 'nangkring' di rumah. Aku sih pasti dapat giliran terakhir, soalnya kecepatan membacaku jauh dibawah rata-rata. Tapi, lama-kelamaan, progress-nya lumayan juga. Dari total 5-6 antrian, aku bisa dapat nomor urut 3 atau 4, lumayan lah... Buku tebel? sikat-laah... Sampe aku nggak nyangka, bisa selesai baca Mushashi yang nyampe 1000 halaman lebih itu... (buku sama badanku aja, lebih berat bukunya, ^_^)


Selasa, 16 Februari 2010

Belajar dari Ibuku


Ibu adalah sosok wanita yang berhati lembut.
Anak siapa yang tidak akan mengakui kelembutan hati ibunya? Belahan jiwanya, muara hatinya, pelita hidupnya... Nah, ibuku adalah salah satu dari sekian wanita itu.
Kebiasaannya memanggil pedagang asongan, membeli dagangannya hanya sekedar memutar siklus perekonomian masyarakat menengah kebawah, alias karena kasian.
"Dek, ambilkan sepatu ibu yang coklat, yang 'mangap' itu lho. Biar dijahit sama bapak tukang sol di depan." padahal sepatu itu sudah tidak pernah dipakai lagi, dan sepertinya kalau dijahit-pun tetap tidak akan dipakai lagi. Tapi ibu menjaga harga diri si bapak, agar tidak menerima uang sekedar belas kasih, sedekah, atau apapun namanya.
Atau saat di kereta dalam perjalanan pulang dari Jakarta. Yang awalnya tidak niat bawa oleh-oleh banyak, eh... turun dari kereta kreseknya jadi berat, gara-gara beli lanting, getuk goreng, bahkan lotek dari pedagang asongan. Juga sore tadi saat hujan turun, tiba-tiba rumah diketuk oleh nenek penjual sayuran. Setelah belanjaan ibu dihitung dan divonis sebanyak delapan ribu rupiah, ibu kaget. Bukan karena kemahalan, justru karena terlalu murah. Maka ibu bersikeras agar belanjaan dihitung detilnya. "Itu jeruk berapa? Wortel sama tomat berapa? Terus cabe segitu berapa? Jangan sampe rugi lho, Bu..." bahkan ibu menyuruhku membantu menghitungkan harga belanjaannya saat beliau beranjak ke belakang untuk mengambil uang. Tapi memang sih, terlalu murah harga sayuran si nenek. Di saat harga tomat sebiji di Jakarta seribu rupiah, di sini seribu dapat enam biji, gede-gede pula. Maka saat ibuku menyodorkan selembar sepuluh ribuan, beliau meminta si nenek menyimpan kembaliannya.


Sering-kah kita memperhatikan orang-orang seperti pedagang sandal kayu alias "theklek" yang memikul barang dagangannya yang sedang mengaso di bawah pohon, sambil mengelap peluhnya dengan handuk kecil kumal, mencoba menyelami benak mereka, sudah berapa pasang theklek yang kujual hari ini?
Atau bapak tua pengayuh becak yang memarkir becaknya di tepi jalan, yang berkeringat dan mendudukkan badannya di dalam becaknya setelah mengitari kota yang dipenuhi mobil-mobil pribadi dan sepeda mootor, sambil mulai memejamkan mata dan bermimpi, berharap nanti akan dibangunkan oleh calon penumpang yang minta diantarkan ke suatu tempat.
Atau pedagang es puter keliling yang berteduh di emper toko karena hujan, sambil mengira-ngira, sudah berapa rupiah yang ia kumpulkan hari ini? Cukupkah untuk biaya makan?
Atau pedagang kacang dan jagung rebus yang yang suara gemerincing gerobaknya masih bisa terdengar hingga pukul sebelas malam, sambil membayangkan, anak-istrinya tidur kedinginan di rumah, menanti kepulangan ayah dan suami mereka, padahal dagangannya masih menggunung bertengger di atas gerobaknya.

Sering kali kita tidak memperhatikan kemana perginya uang dari kantong kita. Untuk membelanjakan di mana barang-barang keperluan kita.
Apakah membeli barang-barang di supermarket, hypermarket, ataukah di warung-warung tetangga kita, padahal selisihnya tak lebih dari seribu rupiah. Biaya ongkos ke mall saja lebih mahal dari selisih harga belanjaan kita.
Apakah membeli sayur di supermarket lagi, atau memilih pergi ke pasar tradisional, hanya karena kita tak rela melangkahkan kaki di tempat becek, sedikit bau dan panas.
Apakah membeli nasi di restoran franchise dari luar negeri, ataukah memilih mampir di warung sederhana atau di angkringan, hanya sekedar mempertahankan gengsi yang tingginya tak melebihi tanaman cabe.
Tangan siapa yang nantinya menerima uang gaji kita, para pedagang kecil yang untuk mendapatkan keping ratusan harus survival, atau kepada pengusaha mall yang menggusur pasar dan warung kelontong?

Sepertinya aku harus banyak belajar menjadi orang yang peka, seperti ibuku.

Selasa, 09 Februari 2010

DEPRESI

Pernah merasa sedih, tidak bahagia, atau seolah-olah ada palu yang dihantamkan ke dada dan kepala? Hal ini normal kita rasakan sesekali. Namun jika perasaan ini terasa amat sering dan tidak bisa dihilangkan sehingga membuat manusia merasa tidak berfungsi seperti biasanya. Perasaan sedih yang begitu mendalam inilah yang disebut depresi yang sebenarnya. Satu dari empat wanita dan satu dari delapan pria mengalami satu episode depresi dalam hidupnya.

Depresi bagaikan musuh dalam selimut, gejalanya sulit dideteksi. Kita hanya bisa mengetahui perlahan-lahan perasaan sedih yang membawa manusia, secara bertahap mengubah cara berpikir, merasa, bereaksi, dan mengubah pribadi manusia.

Depresi ini merupakan masalah serius dan akhir-akhir meningkat di kalangan usia muda.

APA ITU DEPRESI?

Oke, karena saya bukanlah seorang dokter atau psikiater, maka saya akan menjelaskan depresi dengan sebuah analogi, seperti yang dikemukakan oleh Dr. Joseph Rey dalam bukunya “More Than Just the Blues”.

Bayangkan Anda berada dalam ruangan yang ber-AC. Temperature ruangan terasa sejuk dan Anda merasa nyaman dan dapat beraktivitas dengan baik. mungkin termostatnya (alat pengatur/pengimbang suhu) menunjukkan angka 18 atau 20 derajat Celcius. Namun jika termostat rusak dan mengubah temperature menjadi sangat rendah, katakanlah 4 derajat Celsius, maka Anda akan mearasa sangat tidak nyaman, bahkan seakan-akan beku dan tidak dapat bekerja dengan baik. hal ini serupa terjadi jika Anda mengalami depresi.

Kita memiliki suatu mekanisme layaknya termostat dalam otak yang mengontrol mood. Sebagai hasilnya, perasaan kita berada dalam range normal: kita bisa merasa senang atau sangat senang pada saat hal baik terjadi; atau juga merasa sedih suatu saat kita merespon situasi yang tidak menyenangkan. Kondisi naik-turun ini tidak berlangsung lama dan biasanya kita kembali pada atmosfer yang stabil setelah beberapa saat.

Seseorang menjadi depresi saat mekanisme ini rusak. Saat “mood thermostat” mengatur temperature emosional pada level yang sangat rendah, hal ini membuat ia berpikir, merasa, dan bereaksi secara negative dan tanpa harapan. Bayangkan saja ini seperti saat Anda bangun tidur dengan memakai kacamata hitam. Anda melihat semua serba abu-abu, gelap, dan suram. Banyak orang dalam situasi seperti ini berpikir bahwa ada yang salah dengan diri mereka, padahal sebenarnya yang terjadi adalah, sesuatu yang salah sedang menimpa diri mereka.

Yang perlu ditekankan adalah depresi bukan disebabkan oleh kelemahan seseorang, ataupun kemalasan dan kurangnya kemauan. Ini merupakan suatu kondisi gangguan emosional yang bisa ditangani/ditreatmen baik secara medis dan/atau psikologis.

Last Breath (Akhmad Bukhatir)



I found this song today, I listened to it, then I stunned for a while...
my heart drummed so fast, and I couldn't wait any longer to share the lyrics to you...

From those around I hear a Cry,
A muffled sob, a Hopeless sigh,
I hear their footsteps leaving slow,
And then I know my soul must Fly!

A chilly wind begins to blow,
within my soul, from Head to Toe,
And then, Last Breath escapes my lips,
It's Time to leave. And I must Go!

So, it is True (But it's too Late)
They said: Each soul has its Given Date,
When it must leave its body's core,
And meet with its Eternal Fate.

Oh mark the words that I do say,
Who knows? Tomorrow could be your Day,
At last, it comes to Heaven or Hell
Decide which now, Do NOT delay !
Come on my brothers let's pray
Decide which now, Do NOT delay !


Oh God! Oh God! I cannot see !
My eyes are Blind! Am I still Me
Or has my soul been led astray,
And forced to pay a Priceless Fee
Alas to Dust we all return,
Some shall rejoice, while others burn,
If only I knew that before
The line grew short, and came my Turn!

And now, as beneath the sod
They lay me (with my record flawed),
They cry, not knowing I cry worse,
For, they go home, I face my God!

Oh mark the words that I do say,

Who knows, Tomorrow could be your Day,
At last, it comes to Heaven or Hell
Decide which now, Do NOT delay !
Come on my brothers let's pray
Decide which now, do not delay ....