Senin, 29 Maret 2010

You Are Allah



You are Allah You are always there
When i need You to cry up on and share
Allah the Great Allahu Akbar

I can see You all a round me
I can feel You always near me
I can know You with heart and mind
You created me and other Ooh...so fine

You are Allah You are always there
When i need You to cry up on and share
Allah the Great Allahu Akbar

Strengthen my faith, Lengthen my life
Look up on me and forgive me
Everythings i do every single thing...
Allah is for you...Allah is for you
This song is sung by Yusuf Islam, the legend of munsyid from UK. I know this song since I was child, and the lyric has a deep meaning to remind us that when we can feel Him always near us, then we can always in His guidance. When we walk through to near Him, then He will run to near us
When we run through to near Him, then He will fly to near us
So, what happen when we fly throug to near Him? Subhanallah...

You Are Allah - by. Yusuf Islam                            download

Minggu, 28 Maret 2010

Allah Turunkan Hujan


Di tengah minimnya sumber lagu untuk anak-anak, saya berjuang keras untuk mengingat kembali, lagu anak-anak jaman dulu apa, ya? Mengingat di rumah, kami termasuk suka berkaraoke ria (walaupun dengan suara yang agak fals, cuek aja, toh nggak ada orang lain yang denger, hehe...), dan ada anak kecil yang selalu echoing alias meniru apa yang orang-orang ucapkan di sekitarnya, akan sangat bahaya jika kita menyanyikan lagu-lagu yang tidak tepat. Biasanya di rumah sering terdengar lagu-lagu pengiring aktivitas kami (dari radio, televisi, mp3, dari mulut kami ^_^) dan umumnya yang bisa ditemukan di media elektronik (kecuali mp3, sih...) adalah lagu-lagu bersegmen dewasa. Apalagi lagu jaman sekarang, isinya cinta-cintaaann melulu, mulai dari yang romantis, picisan, nggak karuan, yang jelas liriknya penuh dengan kalimat-kalimat yang kalau didengar dan ditirukan anak kecil, rasanya tidak pas. Apalagi di rumah ada ABG, lagu-lagu dari band yang ngetop sampai yang skuter dia mah apal, suka nyanyiin juga...
Tiba-tiba saya ingat, dulu pas masih kecil pernah ada kasetnya Neno Warisman dan Anak-anak Aulade Gemintang yang nyanyiin lagu "Allah Turunkan Hujan". Tapi dari satu album, hanya dua lagu yang saya ingat, itu pun liriknya suka kebalik-balik. Iseng-iseng searching di internet, eh... ternyata nemu liriknya. Lebih seneng lagi, nemu dari blog seorang teman yang meng-upload lagu-lagunya. Langsung deh, tanpa ba-bi-bu dan menggebu-gebu saya download (setelah itu baru berterima kasih untuk right to copy, hehe... jangan ditiru ya, kebalik itu...). Makasih deh buat Kang Adjie Siliadjie, blog tempat saya download lagu2 ini.
Saya paling suka tiga lagu dari satu album itu dan selalu saya nyanyikan untuk keponakan tercinta, agar dia tumbuh dengan referensi kalimat bermakna dari setiap lagu yang ia dengarkan.

“ALLAH TURUNKAN HUJAN”
Allah turunkan hujan
Dari gumpalan awan
Dari langit yang tinggi
Membasahi seluruh bumi
Bumi jadi subur
Tanah jadi gembur
Allah tumbuhkan sayur mayur
Bumi jadi subur
Tanah jadi gembur
Pantaslah kita bersyukur

Allah makes the rain fall
From clauds up in the sky
The rain falls to the ground
And wets the earth thats dry
The rain makes the earth rich
The plants grow all around
Our garden are so full of life
The rain makes the earth rich
The plants grow all around
We thank God for beauty that’s abound

Download lagunya

"HELLO MY DEAR"
hello my dear, my sisters and brothers
lets pray to Allah 
five times a day, we do everyday 
we’ll be happy in Gods way
halo kawan, kawanku sayang mari kita sembahyang
satu hari, lima kali sujud pada Illahi Robbi

Download lagunya


“ALWAYS REMEMBER”
Kusambut pagi yang segar
Bersyukur pada pencipta
Kutempuh siang yang riang
Slalu kuingat Yang Kuasa
Kujelang sore yang cerah
Tak lupa pada Yang Esa
Kusadari senja tlah tiba
Karena-Mu ku memohon
(ku memohon pada-Mu)
Kututup malam yang indah
Bersujud pada-Mu Allah

Welcome to the fresh crispy morning
Grateful to the great Creator
Working on a cheerful day
Always remember the Mighty God
Watching for the bright afternoon
In my mind ALLAH is the One
Realizing sunset has come around
Only to You, I beg and pray
(Beg and pray to You)
Closing the wonderful night
By calling to You, dear ALLAH

Download lagunya

Sabtu, 27 Maret 2010

Sensitif, Perlu Itu (Bag. 2)

Setelah di-recall, ternyata cukup banyak sumber yang berhasil memompa keluar air mata saya. Mulai dari bacaan, film, lagu, dan lain-lain. Tentu yang paling diingat adalah yang paling berhasil membuat air mata saya terkuras sampai habis dan menyebabkan kantung mata saya sebesar kantung yang biasa dipakai latihan tinju.
  1. Buku. "A Child Called It" karangan David Pelzer berhasil membuat saya terenyak selama tiga hari dengan kantung mata tebal dan lengan baju selalu basah karena dipakai menyeka, tetapi saya tidak bisa meletakkan buku ini dan berhenti membacanya. Buku ini menuturkan kisah nyata pengalaman sang penulis tentang masa kanaknya yang menyedihkan. Ia merupakan korban kekerasan sadis (child abuse) dari ibu kandungnya sendiri yang mengalami ketidakseimbangan mental. Hari-harinya dilalui dengan berbagai penyiksaan ibunya, mulai dari dikurung dalam basement, dipaksa berbaring di atas kompor panas, dipaksa memakan kotorannya sendiri, meminum cairan pembersih kloset, sampai ditusuk perutnya menggunakan pisau. Tidak hanya itu, si ibu juga orang yang manipulatif, sehingga para tetangga dan guru di sekolah dibuat tidak mempercayai keterangan anaknya, sebaliknya malah menganggap David ini adalah anak nakal. Bahkan sekuelnya (The Lost Boy) juga membuat airmata sedikit meleleh. Buku ini saya baca dulu saat SMP, sambil jaga warung. Beberapa pembeli heran melihat saya meladeni mereka dengan mata sembab (mudah-mudahan tidak dikira pembantu yang disiksa majikan, hehehe...)
  2. Film. "I am Sam" yang dibintangi Liam Neeson dan Dakota Fanning juga menguras air mata. Perjuangan seorang ayah yang menderita retardasi mental dalam memperjuangkan hak asuh atas anak tunggalnya menjadi inti cerita. Sang ayah yang telah berusia 30-an memiliki usia mental layaknya anak 8 tahun. Maka sesuai putusan pengadilan, ketika sang anak menginjak usia 8 tahun, ia harus diambil oleh dinas sosial karena dikhawatirkan sang ayah tidak dapat melakukan pengasuhan atas anaknya. Namun ikatan batin yang kuat tidak dapat memisahkan mereka. Maka sang ayah mati-matian membuktikan pada pengadilan bahwa ia mampu menjadi ayah yang baik. Mendapat pekerjaan sebagai pelayan kedai kopi dan pengurus anjing peliharaan, mampu mengurus rumah tangga, belajar mengoperasikan alat-alat rumah tangga, dan menunjukkan perilaku dan emosi layaknya orang dewasa. Begitu juga sang anak yang berusaha membantu ayahnya dengan selalu menutupi kekurangan ayahnya, membantu menghafal jenis kopi yang dijual sang ayah, membereskan rumah, dll. Sulit diceritakan, menarik untuk ditonton ^_^
  3. Tayangan Televisi. "Jika Aku Menjadi" tepatnya pada bagian akhir acara, ketika keluarga yang ditempati sang tamu mendapat hadiah dari tim JAM. Hiks...hiks... banjir air mata deh... Y_Y
  4. Lagu. "The Last Breath" yang dilantunkan Ahmad Bukhatir menciptakan kesan yang bercampur: ngeri, sedih, dan semangat sekaligus. Liriknya ada di postingan saya terdahulu.
  5. Pengalaman. Pengalaman saya bertemu dengan seorang nenek tua yang masih harus berjualan menghidupi keluarganya, padahal berjalan saja beliau sudah kesusahan. Juga dengan seorang bapak tua dan mengalami cacat fisik, tetapi ia masih gigih menjajakan koran dan hasta karya di perempatan dekat Lapangan Mandala Krida. Semoga Allah menghadiahinya kemuliaan di dunia dan akhirat, amiin. Hhhh.... lagi-lagi membuat saya menangis...

Jumat, 26 Maret 2010

Sensitif, Perlu Itu (Bag. 1)

Saya akui, saya memang termasuk orang yang cengeng. Melihat, mendengar, dan merasakan hal-hal yang sedikit melankolis sering membuat dada saya tiba-tiba serasa sesak dan kantung mata terasa berat dan penuh, hingga akhirnya tumpahlah cairan bening bernama air mata, menderas membasahi pipi. Tidak selalu sih, tetapi bisa dikatakan tidak jarang. Kadang-kadang pada saat sedang melihat film bersama dengan saudara-saudara saya, mereka selalu melirik ke wajah saya kalau pas ada adegan mengharu biru. Awalnya saya tidak menyadari kebiasaan ini, kemudian jadi malu karena setiap selesai nonton film drama, pasti mata dan hidung saya yang paling merah, suara saya yang paling serak karena mati-matian menahan tangis dibanding kakak-kakak dan adik saya. Tapi lama-lama, ah... cuek ajalah...


Sensitifitas memang perlu dibangun. Empati wajib ada dalam setiap diri kita, tak peduli laki-laki atau perempuan. Kalau perempuan sih memang stereotype dan identik dengan hal-hal berbau emosional, mewek-mewek, cengeng, dan lebih menangis dibanding kaum laki-laki. Tetapil laki-laki juga sesekali harus menikmati emosi kesedihan, merasa lemah, dan menitikkan air mata. Terserah apakah mau menikmati dengan berbagi dengan orang lain, sendirian mengurung di kamar, atau sembunyi di semak biar tidak ada yang tahu. Wanita pun tidak selalu ingin menampakkan air matanya. Saya malah termasuk yang anti menangis di depan laki-laki, tidak rela kalau dibilang cengeng :). Tapi dengan menghayati emosi sedih (salah satu emosi dasar manusia), maka ketika kita berhadapan dengan orang lain yang sedang bersedih, kita bisa bersikap dengan sesuai, menyelaraskan emosi kita. Itu yang dinamakan membangun empati. Begitu pula  dengan menitikkan air mata. Menangis adalah salah satu cara katarsis (pembersihan/peluapan emosi atau menghilangkan beban mental) yang sederhana karena kita tidak memerlukan objek lain sebagai pelampiasan, seperti memukul sesuatu. Orang yang berhasil menuntaskan emosi-emosi negatifnya, itulah yang disebut dengan sehat secara mental. Dengan merasa lemah, maka kita terhindar dari kesombongan, selalu sadar bahwa kita hanyalah makhluk yang memiliki keterbatasan, dan selalu ingat bahwa ada kekuatan Yang Maha, yang hanya dimiliki oleh Sang Khalik. Hanya pada-Nya lah kita memohon agar kita diberikan kekuatan untuk menghadapi cobaan. 


Tanpa adanya pengalaman emosi seperti itu, mungkin saja kita akan menjadi orang yang tega menendang seorang fakir-miskin yang meminta pertolongan. Atau kita akan melenggang kangkung dengan wajah yang kita dongakkan ke atas saat melihat anak yatim yang tak terurus. Maka lengkaplah gelar yang kita sandang sebagai pendusta agama (simak kembali QS Al-Ma'un).


Rasa empati perlu dilatih. Bahkan sejak kanak. Itulah sebabnya setiap orangtua mengajarkan anaknya untuk saling berbagi, menolong yang tidak mampu, memunculkan rahman dan rahim pada setiap anaknya. Mudah-mudahan saya bisa mengajarkan pada anak-anak saya kelak, bagaimana menjadi orang yang humble, empatik, dan peduli. Amiin...


picture is taken from http://www.trekearth.com/gallery/Middle_East/Kuwait/East-Central/Hawalli/photo425662.htm

Kamis, 25 Maret 2010

Oalah, Nak...

Suatu malam saya mengajari seorang anak SD kelas 4 pelajaran bahasa Inggris. Tidak ada rencana belajar bahasa Inggris malam itu. Malah saya sudah menyiapkan soal matematika untuk dia kerjakan. Tapi sepertinya ia sedang suntuk karena sore tadi ia dimarahi oleh ayahnya, dan ia mengajak saya untuk bernyanyi. Oke, jawab saya, "Mau nyanyi apa? 'Que Sera-sera' aja, yuk? Atau 'Allah Makes the Rain Fall'?" "Nggak mau!" diam sejenak. Sepertinya dia sedang berpikir. Tiba-tiba... "Aku ada ide!! Gimana kalo' kita bikin lagu bahasa Indonesia jadi bahasa Inggris?", "Boleh juga. Idemu bagus. Mau lagu apa? Laskar Pelangi aja, ya?", "Jangaan...aku nggak suka." "Oke, mau lagu apa?", "Mmm...Bunga Citra Lestari ajah..." lalu ia mulai benrnyanyi dengan lancarnya "...bilang mama-mu, tak perlu kuatir ataupun curiga kepadaku...bilang papa-mu ku takkan buat kau menjadi anak yang nakal... biarkanlah saja dulu, kita jalan berdua... la...la...la..."

Huwee...anak kelas empat esde hobby sama Bunga Citra Lestari? Yang suka nyanyi lagu cinta-cintaan itu? Oh My God... what a pity... Kenapa mereka tidak punya profil figur yang seusia dengan mereka? Saya jadi berpikir ulang, iya ya, kok nggak ada lagu yang pas untuk anak seusia mereka... Masa' anak umur 9 tahun menyanyi lagu cinta dengan fasihnya, dengan kata-kata romantis tapi gombal...dan mereka tidak tahu makna dari nyanyian itu... Mengapa mereka tidak bernyanyi tentang cita-cita, tentang persahabatan mereka, tentang ayah dan ibu, atau tentang pengalaman keseharian mereka...

Haduu...padahal perkembangan kecerdasan bahasa anak kan dibentuk lewat nyanyian, bacaan, dan tayangan yang mereka konsumsi setiap hari. Kalau anak-anak ini tidak punya lagu khusus untuk segmen mereka sendiri, bagaimana nasib perkembangan bahasa dan emosi mereka, ya? Masa' kecil-kecil nyanyinya "...cinta inii..., membunuhkuu..." atau, "...engkaulah makhluk Tuhan, yang tercipta yang paling seksi...ah...ah...ah...".

Kira-kira rasa bahasa yang seperti apa yang mereka serap dalam otak dan hati mereka?

Selasa, 23 Maret 2010

When It Comes The Time We Have to Prove, So Prove It !

Hampir semua orang, ketika ditanya, kepada siapa keberhasilan Anda dipersembahkan? Maka, mereka--termasuk juga kita--akan menjawab, "Untuk Ibu. Untuk Ayah."

Semua pencapaian yang kita raih selalu tidak lepas dari dukungan, bimbingan dan doa dari sosok mulia bernama ibu dan ayah. Mulia tidak hanya karena manusia yang menganugerahkan kemuliaan itu, tetapi juga mulia atas dasar perintah agama. Rasul pula yang telah bersabda agar manusia memuliakan mereka segera setelah Allah dan Rasul. Maka, beruntunglah orang-orang yang semasa hidupnya sempat memuliakan orangtuanya. Ketika tiba saat Tuhan memanggil ibu atau ayah lebih dahulu, mereka akan menghabiskan sisa hidupnya dengan ketenangan, kelegaan, dan kebanggaan pada diri karena telah berhasil menjadi anak yang berbakti. Akan tetapi ketika ada orang yang merasa pernah mengecewakan orangtua, terutama ibu, pasti ia pun akan merasa kecewa pada diri sendiri, bahkan mungkin lebih besar.
Mungkin sebagian kita yang saat ini masih hidup berdampingan dengan orangtua, masih tinggal di rumah orang tua, masih bernaung di bawah perlindungan orang tua walaupun tidak tinggal bersama, mungkin sekolah berjauhan dengan rumah, di kost, asrama, pesantren, belum akan menyadari bahwa suatu saat akan tiba waktunya, kitalah yang lebih berdaya daripada orangtua kita. Ayah atau ibu kita akan mulai berkurang kemampuan untuk mengurus diri mereka. Di situlah dimulai ujian kebaktian kita yang sesungguhnya pada mereka. Akankah kita sabar mengurus orangtua, sesabar mereka ketika mengurus kita sepanjang usia hingga kita dewasa? Jika kita sanggup melewati proses itu selama 20-30 tahun, maka kita boleh menyandang gelar sebagai anak berbakti, karena selama itu pula mereka sabar mengurus kita.


Berbahagialah salah seorang sahabat saya, yang semasa hidupnya diberi kesempatan oleh Allah untuk menunjukkan rasa bakti mereka pada ibunya dan yang saya tahu mereka menunjukkannya dalam porsi yang lebih, dibanding saya dan teman-teman yang lain sehingga saya bisa belajar darinya. Ia adalah anak bungsu dan ia menunjukkan bahwa anak bungsu dengan stereotype manja bisa berubah menjadi anak yang sangat bertanggungjawab dan mandiri. Semua kakaknya mendapat pekerjaan yang mengharuskan mereka hidup berjauhan dari keluarga sehingga tinggallah ia dan ayah-ibunya di rumah. Pada saat ia di tahun ketiga kuliah, ayah dan ibunya mulai sakit-sakitan secara bersamaan. Tempat kuliahnya di luar kota dan ia harus pulang-pergi setiap hari menempuh perjalanan sejauh hampir 100 km untuk kuliah. Ia tidak bisa indekost karena ayah-ibunya harus periksa kesehatan di rumah sakit beberapa hari sekali. Lama-lama sakit orangtuanya semakin parah, dan harus pulang-pergi ke berbagai Rumah Sakit di beberapa kota, sampai-sampai ia tidak pernah pulang ke rumah, melainkan harus bolak-balik ke rumah sakit dan ke kampus. Sering ia kelelahan karena dua urusan yang berat, tugas-tugas kuliah dan mendampingi orangtua. Kakaknya yang telah bekerja sehingga tidak bisa seenaknya saja bolak-balik mendampingi orangtuanya yang keluar-masuk rumah sakit, sehingga sahabat saya inilah yang tidak melepaskan pengawasannya pada ayah-ibunya. Beban ini tidak semua orang diberi jatah memikulnya.


Beban lain yang tidak dapat terlepas adalah banyaknya biaya yang ia butuhkan untuk menjalani kehidupannya yang berat. Biaya pengobatan kedua orangtuanya yang tentu tidak murah, biaya transportasi hingga ke luar kota, termasuk dirinya sendiri, dan biaya kuliahnya. Ia bukan mahasiswa yang beruntung mendapatkan beasiswa sehingga semua itu harus ditanggung secara swadaya. Memang beberapa kakaknya telah bekerja, dan bukannya mereka tidak mengusahakan biaya itu. Tetapi usaha mereka telah maksimal dan tetap saja tidak dapat langsung menutup biaya pengobatan untuk dua orang dengan sakit kronis yang cukup berat sehingga dengan terpaksa mereka menurunkan ego untuk meminta pinjaman sana-sini. Dan ini semua ia hadapi dengan selalu tersenyum di depan semua orang dan menyimpan tangisnya untuk dirinya sendiri.


Hingga pada suatu saat, sakit ibunya semakin parah di saat sakit ayahnya belum sempat membaik. Selama hampir dua minggu ia menunggui ibunya di rumah sakit, beberapa hari di ICU. Ia tak dapat menghubungi siapa-siapa sehingga ia harus mengurus administrasi dan menunggui ibunya sekaligus. Beberapa hari dirawat, sang ibu sempat membaik. Alhamdulillah, hati siapa yang tak senang? Ia bisa tertawa-tawa dengan sang ibu. Akan tetapi kondisi sang ibu kembali memburuk hingga tiba suatu hari Sang Khaliq memanggilnya. Innalillahi wa inna ilaihi roji'un...
Saya sangat banyak mengambil hikmah dari sahabat saya yang satu ini. Setiap mengenang kembali kisah-kisahnya bersama sang ibu, membuat saya ingin segera menemui ibu saya yang masih ada dan menunjukkan bahwa saya sangat bertekad untuk berbakti pada beliau.


Sahabatku, tangismu yang tak pernah kau bagi akan berubah menjadi air mata bahagiamu di akhirat.
Segala kepayahanmu membuatmu menjadi anak yang shalihah, dan menjadikan doamu sebagai jariyah yang meringankan perjalanan ibumu di alam barzah. Mungkin sekarang Ibumu sedang merasakan hangat dan tersenyum merasakan doamu. Allaahummaghfirli wa li waa lidayya warhamhuma kamaa robbayaanishaghiiraa...

Sabtu, 06 Maret 2010

They Come

Tears...
They came when we can't fight our fears
But laughs...
They came when we're in the first place and becoming tough
And smiles...
They came when we can pass the obstacle in hundred miles

Both will never enough
If we don't complete them with love