Selasa, 23 Maret 2010

When It Comes The Time We Have to Prove, So Prove It !

Hampir semua orang, ketika ditanya, kepada siapa keberhasilan Anda dipersembahkan? Maka, mereka--termasuk juga kita--akan menjawab, "Untuk Ibu. Untuk Ayah."

Semua pencapaian yang kita raih selalu tidak lepas dari dukungan, bimbingan dan doa dari sosok mulia bernama ibu dan ayah. Mulia tidak hanya karena manusia yang menganugerahkan kemuliaan itu, tetapi juga mulia atas dasar perintah agama. Rasul pula yang telah bersabda agar manusia memuliakan mereka segera setelah Allah dan Rasul. Maka, beruntunglah orang-orang yang semasa hidupnya sempat memuliakan orangtuanya. Ketika tiba saat Tuhan memanggil ibu atau ayah lebih dahulu, mereka akan menghabiskan sisa hidupnya dengan ketenangan, kelegaan, dan kebanggaan pada diri karena telah berhasil menjadi anak yang berbakti. Akan tetapi ketika ada orang yang merasa pernah mengecewakan orangtua, terutama ibu, pasti ia pun akan merasa kecewa pada diri sendiri, bahkan mungkin lebih besar.
Mungkin sebagian kita yang saat ini masih hidup berdampingan dengan orangtua, masih tinggal di rumah orang tua, masih bernaung di bawah perlindungan orang tua walaupun tidak tinggal bersama, mungkin sekolah berjauhan dengan rumah, di kost, asrama, pesantren, belum akan menyadari bahwa suatu saat akan tiba waktunya, kitalah yang lebih berdaya daripada orangtua kita. Ayah atau ibu kita akan mulai berkurang kemampuan untuk mengurus diri mereka. Di situlah dimulai ujian kebaktian kita yang sesungguhnya pada mereka. Akankah kita sabar mengurus orangtua, sesabar mereka ketika mengurus kita sepanjang usia hingga kita dewasa? Jika kita sanggup melewati proses itu selama 20-30 tahun, maka kita boleh menyandang gelar sebagai anak berbakti, karena selama itu pula mereka sabar mengurus kita.


Berbahagialah salah seorang sahabat saya, yang semasa hidupnya diberi kesempatan oleh Allah untuk menunjukkan rasa bakti mereka pada ibunya dan yang saya tahu mereka menunjukkannya dalam porsi yang lebih, dibanding saya dan teman-teman yang lain sehingga saya bisa belajar darinya. Ia adalah anak bungsu dan ia menunjukkan bahwa anak bungsu dengan stereotype manja bisa berubah menjadi anak yang sangat bertanggungjawab dan mandiri. Semua kakaknya mendapat pekerjaan yang mengharuskan mereka hidup berjauhan dari keluarga sehingga tinggallah ia dan ayah-ibunya di rumah. Pada saat ia di tahun ketiga kuliah, ayah dan ibunya mulai sakit-sakitan secara bersamaan. Tempat kuliahnya di luar kota dan ia harus pulang-pergi setiap hari menempuh perjalanan sejauh hampir 100 km untuk kuliah. Ia tidak bisa indekost karena ayah-ibunya harus periksa kesehatan di rumah sakit beberapa hari sekali. Lama-lama sakit orangtuanya semakin parah, dan harus pulang-pergi ke berbagai Rumah Sakit di beberapa kota, sampai-sampai ia tidak pernah pulang ke rumah, melainkan harus bolak-balik ke rumah sakit dan ke kampus. Sering ia kelelahan karena dua urusan yang berat, tugas-tugas kuliah dan mendampingi orangtua. Kakaknya yang telah bekerja sehingga tidak bisa seenaknya saja bolak-balik mendampingi orangtuanya yang keluar-masuk rumah sakit, sehingga sahabat saya inilah yang tidak melepaskan pengawasannya pada ayah-ibunya. Beban ini tidak semua orang diberi jatah memikulnya.


Beban lain yang tidak dapat terlepas adalah banyaknya biaya yang ia butuhkan untuk menjalani kehidupannya yang berat. Biaya pengobatan kedua orangtuanya yang tentu tidak murah, biaya transportasi hingga ke luar kota, termasuk dirinya sendiri, dan biaya kuliahnya. Ia bukan mahasiswa yang beruntung mendapatkan beasiswa sehingga semua itu harus ditanggung secara swadaya. Memang beberapa kakaknya telah bekerja, dan bukannya mereka tidak mengusahakan biaya itu. Tetapi usaha mereka telah maksimal dan tetap saja tidak dapat langsung menutup biaya pengobatan untuk dua orang dengan sakit kronis yang cukup berat sehingga dengan terpaksa mereka menurunkan ego untuk meminta pinjaman sana-sini. Dan ini semua ia hadapi dengan selalu tersenyum di depan semua orang dan menyimpan tangisnya untuk dirinya sendiri.


Hingga pada suatu saat, sakit ibunya semakin parah di saat sakit ayahnya belum sempat membaik. Selama hampir dua minggu ia menunggui ibunya di rumah sakit, beberapa hari di ICU. Ia tak dapat menghubungi siapa-siapa sehingga ia harus mengurus administrasi dan menunggui ibunya sekaligus. Beberapa hari dirawat, sang ibu sempat membaik. Alhamdulillah, hati siapa yang tak senang? Ia bisa tertawa-tawa dengan sang ibu. Akan tetapi kondisi sang ibu kembali memburuk hingga tiba suatu hari Sang Khaliq memanggilnya. Innalillahi wa inna ilaihi roji'un...
Saya sangat banyak mengambil hikmah dari sahabat saya yang satu ini. Setiap mengenang kembali kisah-kisahnya bersama sang ibu, membuat saya ingin segera menemui ibu saya yang masih ada dan menunjukkan bahwa saya sangat bertekad untuk berbakti pada beliau.


Sahabatku, tangismu yang tak pernah kau bagi akan berubah menjadi air mata bahagiamu di akhirat.
Segala kepayahanmu membuatmu menjadi anak yang shalihah, dan menjadikan doamu sebagai jariyah yang meringankan perjalanan ibumu di alam barzah. Mungkin sekarang Ibumu sedang merasakan hangat dan tersenyum merasakan doamu. Allaahummaghfirli wa li waa lidayya warhamhuma kamaa robbayaanishaghiiraa...

0 comments:

Posting Komentar