Selasa, 18 Mei 2010

BUNDA...Aku bawakan roti laba-laba !



sebuah kisah dari seorang guru: Bunda Pihasniwati, Psi.


`Bunda...Bunda...!` teriak dua cahaya hatiku saat selepas magrib, aku baru tiba di rumah ...
`Assalamualaikum Kakak...Adek...` balasku heboh...seperti biasa upacara pertemuan kami setelah sehari berpisah...`Bunda...aku bawakan bunda sesuatu..`, lanjut putriku sang Kakak. `Oya...senangnya..`, teriakku..dia berlari ke arah tasnya dan dengan gaya seperti seorang pesulap yang mengeluarkan hasil sulapannya, dia berteriak `Taraaang...` dengan dua potong kue yang masih setengah terbungkus kertas minyak... segera kusambut bungkusan kecil itu dengan senyum dan kubuka lebih lebar...huaa...ternyata bersemut ..spontan aku membersihkannya dan agak menjauhkannya dari posisi kami semula..`Yah...kue laba-labanya sudah melempem..sudah semutan..Bunda pulangnya telat siih`, keluh putriku..`padahal tadi siang masih kriuk-kriuk dan cantik..`, lanjutnya. dengan ujung mata kutangkap gurat sesal di wajahnya.segera kutimpali `Terimakasih kakak, Bunda senang sekali...kue laba-labanya masih cantik kok..semutnya bisa bunda bersihkan..` ujarku..terselip rasa haru..terkesan dan tersanjung.. Memang sudah hampir sebulan kak Thifa sering menceritakan tentang kue laba-laba yang sering datang ke sekolahnya saat jam kepulangan sekolah. dan dia sangat ingin membawakannya untukku. pernah sekali waktu ia membawakanku satu sachet susu kental manis, dan berkata `Bunda, maaf ya..kue laba-labanya habis..., aku ganti dengan susu kental manis ya.., kapan-akapan aku belikan..habisnya tadi laris banget..`. dan hari itu dia berhasil membawa pulang dua potong kue laba-laba, seharga seribu rupiah...masih dengan perasaan nyaman, sang adik ikut merayakan kaberadaan kue laba-laba dengan mencuilinya..`Wah enak.., aku minta ya..`, katanya lucu...

Terimakasih Nak...Terimakasih untuk setiap pengalaman yang bunda diizinkan untuk menyadari dan mensyukurinya... `Allah salam untuk anak-anakku..sampaikan cinta ku ke relung-relung hatinya..., betapa kurindu mereka menjadi semakin mulia..`

Kamis, 13 Mei 2010

Para Pejuang Ilmu

Kata pepatah, tuntutlah ilmu sampai ke negeri Cina. Kalau untuk kita yang ada di Indonesia, kalimat itu mungkin akan menginspirasi kita untuk gigih belajar walaupun harus menempuh jarak jauh dan jalan yang berliku. Tapi bagi orang Cina sendiri, akankah? Mungkin bagi kita yang ada di Jakarta atau Jogja akan terdengar seperti kalimat, "Tuntutlah ilmu sampai ke negeri Depok" alias ke UI atau UGM (tempatnya sama-sama di daerah Depok, sih...)
Tapi bagi saya, perkataan, "Tuntutlah ilmu walaupun harus bersepeda puluhan kilo" sangat menginspirasi. Mengingat dulu jaman SD dan SMP (sebelum sepeda saya hilang, hiks...) saya juga termasuk pejuang bersepeda. Tapi, kisah tiga teman saya ini benar-benar membuat semangat saya berkobar sekaligus kapok.
Salah seorang teman saya rumahnya berada di daerah pegunungan dan jaraknya sekitar 20 km (atau lebih, ya... saya belum menghitungnya) dari kampus. Setiap hari ia selalu mengayuh sepedanya untuk mengikuti kuliah dan beraktivitas di kampus. Kalau kuliah dimulai pukul 7.30, ia akan mulai duduk di atas sadel-nya pada pukul 6.00. Saya tidak membayangkan, bagaimana perjalanan pulangnya. Sudah capek, harus melalui jalan menanjak pula... Pegal? Jelas... Berkeringat? Tentu... Ngos-ngosan? Ya iyalah... apalagi kalau ada kuis, pasti ia berusaha untuk tidak datang terlambat. Capek? Bayangkan saja jika Anda sendiri yang melakukannya...
Tapi yang jelas, semangat belajarnya masih membara. Dan ia adalah salah satu mahasiswa berprestasi dan berdedikasi tinggi terhadap almamater.
Teman saya yang lain, tempat kosnya tidak sejauh teman saya yang pertama. Tetapi badannya tinggi dan besar sedangkan sepeda federal yang ia naiki tampak kecil sehingga kalau melihatnya mengayuh, kakinya akan terlihat menekuk terus. Bayangkan saja mengayuh sepeda yang kecil sepanjang 10 km, bagaimana pegalnya kaki. Dan sampai di kampus, ia masih punya banyak energi untuk berbagi pengalaman dengan teman-temannya, berdiskusi, dan aktif bertanya di kelas. Pokoknya staminanya untuk berbicara, luar biasa.
Teman saya yang ketiga, rumahnya juga tidak sejauh teman saya yang pertama. Tetapi dia ini perempuan berbadan kecil. Kalau dua teman saya tadi adalah laki-laki yang notabene kekuatannya lebih besar. Setiap hari harus mengayuh sepeda 15 km, sedangkan seluruh badannya tertutup dengan busana muslimah. Bayangkan saja betapa panasnya... Tetapi sekali lagi, ketiganya punya prestasi yang patut dibanggakan. Nilai kuliah yang tidak pernah C (B/C pun sepertinya tidak ada...), jago berbicara di depan forum, pandai menulis, dan satu hal lagi: fisiknya oke...
Saya jadi ingat kisah Lintang yang diceritakan dengan sangat menarik dan heroik oleh Andrea Hirata. Kisah perjuangan mencari ilmu bagi saya jauh lebih memberi makna daripada kisah perjuangan mencari uang. Karena ilmu adalah hal abstrak dan uang  adalah sesuatu yang konkret. Mengejar sesuatu yang abstrak pasti lebih banyak pengorbanannya.
Suatu hari, berbekal semangat yang tertular oleh mereka tetapi tanpa persiapan (mengingat saya sudah 5 tahun tidak bersepeda. Wah... bener-bener kapok, saya...) saya pernah mencoba meniru mereka dengan melakukan hal yang sama. Jarak rumah saya kurang-lebih 10 km dari kampus. Sehari saya pernah bersepeda dari rumah ke kampus, pulangnya mampir ke SMA, lalu menuju rumah. Hasilnya?? Semangat belajar saya memang tidak mengendur, tetapi persendian kaki saya rasannya seperti pintu yang mau copot engselnya... otot-otot mengencang, terkadang mati rasa. Ibu saya sampai harus memijatnya selama dua hari, plus harus memakai balsem dan koyo cabe selama 3 hari. Kakak saya yang melihatnya, geleng-geleng kepala sambil menyanyikan jingle iklan koyo yang dulu pernah tampil di TV, "...badan pegel linu, semangat terus maju. badan lemah lesu, tiiiittt.... (sensor--merek koyo, red) semangatku..."

Selasa, 04 Mei 2010

Inilah Pasangan Abadi Abad Ini...



Sore tadi aku bertemu dengan bapak pegawai di SMAku dulu. Pak Harsono namanya. Orangnya kecil, lincah geraknya, keras tawanya, cepat nada bicaranya, dan sudah lumayan banyak usianya. Kutebak mungkin sekarang sekitar 60-70 tahun. Istrinya juga mungil, mengingatkanku pada ibuku yang mungil juga. Beliau berjualan bakmoi di kantin sekolahku, yang hampir selalu kusantap tiap kali aku punya uang saku cukup. Salah satu alasanku suka makan di kantin Bu Harsono adalah aku suka memperhatikan cara beliau membuatkan bakmoi untuk anak-anak SMA, mengingatkanku pada ibuku yang dulu pernah jualan soto di depan rumah.

Satu hal yang selalu kuingat pada sepasang suami istri ini. Mereka berdua sangatlah romantis. Betapa tidak? Berangkat dan pulang ke sekolah selalu berdua, mengendarai sepeda onthel besar berboncengan mesra. Tubuh mereka yang mungil di atas sepeda besar, tetapi dengan penuh semangat Pak Har mengayuh dengan kakinya, membuat saya yang setiap melihatnya jadi merasa lucu dan terharu. Karena rumah mereka tidak begitu jauh dari rumahku, aku sering berpapasan dengan mereka ketika berangkat sekolah, pulang dari sekolah, atau di waktu-waktu libur. Mereka sering kemana-mana berdua naik sepeda besarnya. Kulihat kalau sedang di jalan, mereka berdua asyik ngobrol, sesekali tertawa berdua. Duh, inilah yang bikin aku merasakan sensasi lucu dan mengharukan ketika melihat mereka berdua. Lucu melihat ekspresi wajahnya, mungil tubuhnya, lincah geraknya. Terharu melihat sepasang orangtua kemana-mana bersepeda, masih harus bekerja pula untuk keluarganya. Namun sejak gempa besar melanda Jogja dan aku harus pindah karena rumah yang kutempati sudah rata dengan tanah, aku pun tak pernah bersua lagi dengan pasangan mesra bersepeda ini.


Mereka ini juga pasangan yang kompak. Si bapak ini sering membantu istrinya ketika jualan. Pernah suatu hari si ibu mengeluh lelah pada bapak, lalu bapak menyuruh ibu istirahat dan menggantikan jualan. Tapi, begitu ada anak yang mau beli bakmoi, si bapak tanya-tanya terus, "Bu, nasinya segini? Bu, bawang gorengnya mana ya?" akhirnya si ibu berdiri lagi deh...


Sore tadi aku bertemu dengan Pak Har di Jalan Parangtritis saat aku hendak pulang dari tempat fotokopi-an. Kali ini beliau berjalan kaki dan sendirian saja. Ternyata tempat fotokopi-an itu dekat dengan rumah beliau, hanya berjarak beberapa rumah. Aku sapa beliau, ternyata beliau masih mengenaliku.
"Mampir ke rumah saya, Mbak. Dekat kok. Itu di sebelah kantor pos."
"Iya, Pak. Terima kasih, lain kali aja. Kepingin juga ketemu sama Ibu. Sungkem buat Ibu ya, Pak."
"Wah, Ibu itu sudah ndak ada je. Sudah sejak gempa, selang satu minggu."
"Innalillahi wa inna ilaihi roji'un....aduh, Pak... Ngapunten... maaf, saya ndak tau kalau Ibu sudah ndak ada."
"Nggak apa-apa, Mbak. Setelah gempa itu, ibu terus sakit, livernya nggak kuat."
"Lha yang jualan di kantin sekarang siapa, Pak?" aku langsung teringat dengan bakmoi ibu.
"Mantu saya. Waktu saya tawari, mau nggak, menggantikan ibu jualan? Kalau mau, biar bapak tetap di sekolah, kalau nggak mau, ya biar bapak nggak kerja di sekolah lagi. Ternyata dia mau."


Alhamdulillah, ternyata menantu pak Har mau menggantikan ibu. Lega hatiku, karena bapak masih bisa bernostalgia dengan dengan tempat yang menyimpan banyak kenangan bersama ibu di sekolah.


Ah, Pak Har dan Bu Har. Aku tidak akan pernah melihat lagi kemesraan kalian di atas sepeda. Kemesraan yang  hingga saat ini dan nanti akan tersimpan abadi di boncengan walaupun Ibu sudah tiada.




pictures are taken from here and here

Sabtu, 01 Mei 2010

Online vs Live

Sudah hampir sebulan saya tidak menyambangi dunia maya untuk urusan bersosialisasi. Menulis blog, berkomentar di blog orang, bahkan membuka facebook--situs jejaring sosial ternama yang menghubungkan dengan teman lama atau teman baru--juga tidak pernah. Selama tiga minggu ini saya memang lebih sering beraktivitas di luar rumah, berangkat pagi-pulang malam. Sampai rumah kalaupun belum malam, ya bermain dengan keponakan sampai malam pula. 
Bagaimanapun juga, bertemu dengan orang-orang secara live terasa lebih menyenangkan dibandingkan dengan sekedar "bercengkerama" tanpa bertatap muka. Bukannya "ngobrol" lewat FB, twitter, ataupun saling berkirim komentar lewat blog itu tidak asyik, tapi berinteraksi secara langsung akan lebih melibatkan emosi kita secara total, merasakan emosi orang lain, bisa merespon sinyal-sinyal verbal dan nonverbal secara langsung sehingga kita bisa belajar dari sebuah relasi, apapun itu. Belajar berkomunikasi, memahami orang lain, mengakomodasi apa yang diinginkan oleh orang lain, menyampaikan keinginan kita pada orang lain, dan banyak lagi yang lain. 
Namun, berbagi pengalaman pada orang lain, (yang tidak bisa kita lakukan secara live setiap saat sehingga kita terdorong untuk menuliskannya di blog atau update status di situs jejaring sosial) juga tidak kalah menyenangkan. Menunggu respon dari orang lain, entah itu positif, negatif, memberi masukan, mencecar, itu juga bagian dari berkomunikasi dan kita tetap bisa belajar banyak dari itu.
Hanya saja, sekedar mengingatkan pada diri sendiri dan orang-orang di sekitar saya agar seimbang dalam bersosialisasi. Online ataupun secara live, hendaknya proporsinya sesuai. Agar tidak melulu update status di facebook/twitter, tapi orang di sekitarnya jadi terabaikan. Atau yang belum sempat membagi pengalamannya dengan menulis di blog (seperti saya yang nulisnya masih kumat-kumat-an ini, hehe...) agar menyempatkan diri untuk menulis supaya pengalaman yang berharga menjadi bermanfaat dan bisa diambil hikmahnya oleh orang lain. 


picture taken from: http://picasaweb.google.com/hupo001/2009WinterLandscape#5314164467582312498