Senin, 20 Desember 2010

Negeri Impian

Alangkah indahnya membayangkan tinggal di negeri impian. Bukan negeri yang supermegah atau supercanggih, tetapi hanyalah sebuah negeri yang setiap penduduknya merasakan hangatnya selimut di malam hari, segarnya udara pagi hari, nyamannya bekerja setiap hari, saling berpapasan dengan bertukar senyum, membesarkan anak-anak dengan perasaan aman. Bukannya merasa khawatir setiap hari melepas anaknya berangkat ke sekolah, berharap anaknya pulang dengan selamat tidak dibawa lari orang di tengah jalan, atau merasa skeptis dengan setiap penjual di pasar karena setiap membawa pulang belanjaan pasti ada selisih berat dengan timbangan di rumah. 

Mungkinkah suatu saat negeri kita berubah menjadi negeri impian, dimana pendapatan per kapita sudah cukup untuk makan, menyekolahkan anak, bersedekah, dan sedikit menikmati hiburan? Mungkin saja. Kalau kita memiliki rasa percaya diri, dedikasi, harga diri, dan dan motivasi. Percaya bahwa kita adalah bangsa yang cerdas, percaya bahwa kita sendiri memiliki kemampuan, kapasitas yang tidak kalah dengan bangsa yang berperadaban lebih maju. Kita pernah sekali membuktikan pada dunia ketika para pemuda berkumpul membangun negara dengan tiga sumpahnya yang membahana. Dedikasi pada apa yang kita kerjakan, bahwa karya kita bisa membuat hidup kita nyaman, bukan hanya diri sendiri tetapi juga agar orang yang bekerja dengan kita merasa nyaman. Tidak ada saling menipu, tidak ada saling menjatuhkan, atau saling merugikan. Memiliki harga diri yang tinggi, bangga memakai segala sesuatu yang memiliki secarik label atau cap yang bertuliskan "made in indonesia", dan motivasi serta harapan besar bahwa negeri impian itu akan terwujud jika kita berusaha.

Tapi, apakah cukup kita mengandalkan diri sendiri? Ternyata belum. Karena setiap hari kita bekerja tidak sendiri. Kita bekerja dengan koordinasi, bersama bawahan, bersama atasan, bersama mitra. Kita membutuhkan pemimpin yang yang memiliki rasa percaya diri, dedikasi, harga diri, dan motivasi yang tingkatannya jauh di atas rata-rata. Bukannya pemimpin yang bangga dengan nilai impor yang meningkat setiap tahunnya tetapi tak menghargai karya bangsa sendiri, pemimpin yang tidak mampu mempertahankan badan usahanya dan menjualnya pada orang (baca: bangsa) asing dengan dalih tak mampu menalangi biaya produksi, pemimpin yang tak punya motivasi untuk memperbaiki kualitas diri. Bukankah setiap anak pasti meniru setiap perkataan dan perilaku ayah-ibunya? Bukankah setiap murid melaksanakan apa yang diajarkan oleh gurunya? Begitu pula dengan rakyat yang melakukan hal yang sama dengan apa yang dilakukan oleh pemimpinnya. Orangtua, guru dan pemimpin adalah tongkat penuntun bagi anak, murid dan rakyatnya. 


Ah, kita memang tidak bisa mengharapkan setiap orang menjadi baik 100%. Kita memang tercipta sebagai makhluk dengan sebaik-baik penciptaan, tetapi manusia tetap memiliki dua sisi, dua mata panah, dua kecenderungan untuk menjadi fujuur dan taqwa. Buruk dan baik. Bahkan dengan kepemimpinan Rasulullah yang sebaik-baik pemimpin dan manusia, masih ada segelintir orang munafik di antara kumpulan orang mukmin. Bahkan Sayyidina Umar bin Khattab yang melakukan perjalanan di malam hari masih menemukan seorang ibu yang memasakkan batu untuk anaknya. Dan kondisi negeri kita saat ini jauh sekali dibanding negeri yang pernah dipimpin Umar ataupun Rasul. Mengapa kita belum menemukan pemimpin yang seperti mereka? Kalau saja ada seorang pemimpin seperti Umar bin Abdul Aziz di negeri kita, mungkin tiga tahun lagi negeri kita akan berubah menjadi negeri impian. 

yang sedang menghayal 
sambil mendengarkan "Negeri di Awan"

Senin, 06 September 2010

Lelaki Buta dan Lelaki Renta

Sore itu seorang pemuda mengendarai motor hitamnya sepulang dari kantor. Suasana jalanan yang macet penuh kendaraan ditambah panasnya cuaca membuat suasana hatinya semakin buruk. Pagi tadi ia mendapat teguran cukup keras dari atasannya karena proyek yang ditangani oleh timnya tidak mengalami peningkatan yang signifikan. Ia pun dipersalahkan atas ketidakberesan kerja yang ia dan teman-temannya telah lakukan. Si pemuda bertambah kesal mengingat kejadian tadi pagi. Bukankah yang bekerja lima orang? Kenapa hanya ia seorang yang harus menanggung ketidakpuasan atasannya? Ia mulai mempersalahkan teman-teman satu timnya dalam hati. Gara-gara si Ewin nih, kemarin dikasih tugas bikin laporan harian aja nggak dikerjain. Si Dito juga nih, kerjaannya cuma sms-an melulu. Yogi juga, jadi kepala tim tapi kok nggak dewasa. Hmm... panasnya cuaca sepertinya tak bisa mengalahkan panasnya hati pemuda ini.

Motornya masih melaju perlahan di persimpangan jalan. Tiba-tiba ia dikagetkan dengan dua orang yang menyeberang jalan. Sontak ia mengerem sepeda motornya. Untung saja rem-nya cakram sehingga motornya berhenti seketika. Ia hanya bisa memaki perlahan, karena ternyata dua orang yang menyeberang adalah anak lelaki kecil yang menarik sebilah tongkat yang digunakan seorang lelaki buta sambil menenteng beberapa kemoceng. Rupanya pedagang kemoceng.
Ia kemudikan lagi motornya sampai berhenti di lampu merah di sebuah perempatan jalan. Masih 120 detik lagi menuju lampu hijau. Ia melihat seorang lelaki renta memakai baju abu-abu, ia menduga baju itu tadinya berwarna putih yang sekarang telah lusuh. Lelaki itu duduk bersandar tiang lampu lalu-lintas sambil mengipas wajah dan lehernya dengan topi sambil menyanding beberapa lembar kertas tebal berukuran A3 bergambar binatang, buah-buahan, dan alat transportasi, serta beberapa buku mewarnai. Enampuluh detik pemuda itu memperhatikan lelaki renta sambil sesekali benaknya teringat lelaki buta yang menenteng beberapa kemoceng yang berjalan digandeng oleh seorang bocah tadi. Lamunnya tersentak tiba-tiba dan ia segera memanggil si bapak renta itu. "Pak...Pak..., minta kertasnya sama bukunya dua ya." dan si bapak langsung berdiri dan menghampiri pemuda sambil membawakan barang pesanannya. "Delapan belas ribu, Mas..." katanya. Pemuda itu merogoh sakunya dan hanya mendapati selembar limapuluhribuan. Ia serahkan pada si bapak dan ia merogoh-rogoh saku kemeja lusuhnya untuk mencari kembalian. Tetapi waktu detik pada lampu merah menunjukkan angka satu dan pengemudi kendaraan di belakangnya sudah mulai membunyikan klakson. Pemuda tadi langsung berkata, "Sudah, Pak. Untuk Bapak saja..." kontan wajah si bapak berubah seketika dan ia hanya bisa berkata, "Terima kasih, Mas..." sambil memandangi pemuda itu dengan tatapan mata setengah tidak percaya.

Pemuda itu langsung melaju menyambut lampu hijau. Seratus meter setelah ia melalui lampu merah tadi, ia menggumam, "Lelaki buta dan lelaki renta saja masih bersemangat menjemput rizki-Mu. Maka tak ada alasan bagiku untuk berangkat ke kantor dengan keluh kesah dan wajah lesu esok hari. Allah, terima kasih Engkau telah mengingatkanku hari ini..."

Selasa, 18 Mei 2010

BUNDA...Aku bawakan roti laba-laba !



sebuah kisah dari seorang guru: Bunda Pihasniwati, Psi.


`Bunda...Bunda...!` teriak dua cahaya hatiku saat selepas magrib, aku baru tiba di rumah ...
`Assalamualaikum Kakak...Adek...` balasku heboh...seperti biasa upacara pertemuan kami setelah sehari berpisah...`Bunda...aku bawakan bunda sesuatu..`, lanjut putriku sang Kakak. `Oya...senangnya..`, teriakku..dia berlari ke arah tasnya dan dengan gaya seperti seorang pesulap yang mengeluarkan hasil sulapannya, dia berteriak `Taraaang...` dengan dua potong kue yang masih setengah terbungkus kertas minyak... segera kusambut bungkusan kecil itu dengan senyum dan kubuka lebih lebar...huaa...ternyata bersemut ..spontan aku membersihkannya dan agak menjauhkannya dari posisi kami semula..`Yah...kue laba-labanya sudah melempem..sudah semutan..Bunda pulangnya telat siih`, keluh putriku..`padahal tadi siang masih kriuk-kriuk dan cantik..`, lanjutnya. dengan ujung mata kutangkap gurat sesal di wajahnya.segera kutimpali `Terimakasih kakak, Bunda senang sekali...kue laba-labanya masih cantik kok..semutnya bisa bunda bersihkan..` ujarku..terselip rasa haru..terkesan dan tersanjung.. Memang sudah hampir sebulan kak Thifa sering menceritakan tentang kue laba-laba yang sering datang ke sekolahnya saat jam kepulangan sekolah. dan dia sangat ingin membawakannya untukku. pernah sekali waktu ia membawakanku satu sachet susu kental manis, dan berkata `Bunda, maaf ya..kue laba-labanya habis..., aku ganti dengan susu kental manis ya.., kapan-akapan aku belikan..habisnya tadi laris banget..`. dan hari itu dia berhasil membawa pulang dua potong kue laba-laba, seharga seribu rupiah...masih dengan perasaan nyaman, sang adik ikut merayakan kaberadaan kue laba-laba dengan mencuilinya..`Wah enak.., aku minta ya..`, katanya lucu...

Terimakasih Nak...Terimakasih untuk setiap pengalaman yang bunda diizinkan untuk menyadari dan mensyukurinya... `Allah salam untuk anak-anakku..sampaikan cinta ku ke relung-relung hatinya..., betapa kurindu mereka menjadi semakin mulia..`

Kamis, 13 Mei 2010

Para Pejuang Ilmu

Kata pepatah, tuntutlah ilmu sampai ke negeri Cina. Kalau untuk kita yang ada di Indonesia, kalimat itu mungkin akan menginspirasi kita untuk gigih belajar walaupun harus menempuh jarak jauh dan jalan yang berliku. Tapi bagi orang Cina sendiri, akankah? Mungkin bagi kita yang ada di Jakarta atau Jogja akan terdengar seperti kalimat, "Tuntutlah ilmu sampai ke negeri Depok" alias ke UI atau UGM (tempatnya sama-sama di daerah Depok, sih...)
Tapi bagi saya, perkataan, "Tuntutlah ilmu walaupun harus bersepeda puluhan kilo" sangat menginspirasi. Mengingat dulu jaman SD dan SMP (sebelum sepeda saya hilang, hiks...) saya juga termasuk pejuang bersepeda. Tapi, kisah tiga teman saya ini benar-benar membuat semangat saya berkobar sekaligus kapok.
Salah seorang teman saya rumahnya berada di daerah pegunungan dan jaraknya sekitar 20 km (atau lebih, ya... saya belum menghitungnya) dari kampus. Setiap hari ia selalu mengayuh sepedanya untuk mengikuti kuliah dan beraktivitas di kampus. Kalau kuliah dimulai pukul 7.30, ia akan mulai duduk di atas sadel-nya pada pukul 6.00. Saya tidak membayangkan, bagaimana perjalanan pulangnya. Sudah capek, harus melalui jalan menanjak pula... Pegal? Jelas... Berkeringat? Tentu... Ngos-ngosan? Ya iyalah... apalagi kalau ada kuis, pasti ia berusaha untuk tidak datang terlambat. Capek? Bayangkan saja jika Anda sendiri yang melakukannya...
Tapi yang jelas, semangat belajarnya masih membara. Dan ia adalah salah satu mahasiswa berprestasi dan berdedikasi tinggi terhadap almamater.
Teman saya yang lain, tempat kosnya tidak sejauh teman saya yang pertama. Tetapi badannya tinggi dan besar sedangkan sepeda federal yang ia naiki tampak kecil sehingga kalau melihatnya mengayuh, kakinya akan terlihat menekuk terus. Bayangkan saja mengayuh sepeda yang kecil sepanjang 10 km, bagaimana pegalnya kaki. Dan sampai di kampus, ia masih punya banyak energi untuk berbagi pengalaman dengan teman-temannya, berdiskusi, dan aktif bertanya di kelas. Pokoknya staminanya untuk berbicara, luar biasa.
Teman saya yang ketiga, rumahnya juga tidak sejauh teman saya yang pertama. Tetapi dia ini perempuan berbadan kecil. Kalau dua teman saya tadi adalah laki-laki yang notabene kekuatannya lebih besar. Setiap hari harus mengayuh sepeda 15 km, sedangkan seluruh badannya tertutup dengan busana muslimah. Bayangkan saja betapa panasnya... Tetapi sekali lagi, ketiganya punya prestasi yang patut dibanggakan. Nilai kuliah yang tidak pernah C (B/C pun sepertinya tidak ada...), jago berbicara di depan forum, pandai menulis, dan satu hal lagi: fisiknya oke...
Saya jadi ingat kisah Lintang yang diceritakan dengan sangat menarik dan heroik oleh Andrea Hirata. Kisah perjuangan mencari ilmu bagi saya jauh lebih memberi makna daripada kisah perjuangan mencari uang. Karena ilmu adalah hal abstrak dan uang  adalah sesuatu yang konkret. Mengejar sesuatu yang abstrak pasti lebih banyak pengorbanannya.
Suatu hari, berbekal semangat yang tertular oleh mereka tetapi tanpa persiapan (mengingat saya sudah 5 tahun tidak bersepeda. Wah... bener-bener kapok, saya...) saya pernah mencoba meniru mereka dengan melakukan hal yang sama. Jarak rumah saya kurang-lebih 10 km dari kampus. Sehari saya pernah bersepeda dari rumah ke kampus, pulangnya mampir ke SMA, lalu menuju rumah. Hasilnya?? Semangat belajar saya memang tidak mengendur, tetapi persendian kaki saya rasannya seperti pintu yang mau copot engselnya... otot-otot mengencang, terkadang mati rasa. Ibu saya sampai harus memijatnya selama dua hari, plus harus memakai balsem dan koyo cabe selama 3 hari. Kakak saya yang melihatnya, geleng-geleng kepala sambil menyanyikan jingle iklan koyo yang dulu pernah tampil di TV, "...badan pegel linu, semangat terus maju. badan lemah lesu, tiiiittt.... (sensor--merek koyo, red) semangatku..."

Selasa, 04 Mei 2010

Inilah Pasangan Abadi Abad Ini...



Sore tadi aku bertemu dengan bapak pegawai di SMAku dulu. Pak Harsono namanya. Orangnya kecil, lincah geraknya, keras tawanya, cepat nada bicaranya, dan sudah lumayan banyak usianya. Kutebak mungkin sekarang sekitar 60-70 tahun. Istrinya juga mungil, mengingatkanku pada ibuku yang mungil juga. Beliau berjualan bakmoi di kantin sekolahku, yang hampir selalu kusantap tiap kali aku punya uang saku cukup. Salah satu alasanku suka makan di kantin Bu Harsono adalah aku suka memperhatikan cara beliau membuatkan bakmoi untuk anak-anak SMA, mengingatkanku pada ibuku yang dulu pernah jualan soto di depan rumah.

Satu hal yang selalu kuingat pada sepasang suami istri ini. Mereka berdua sangatlah romantis. Betapa tidak? Berangkat dan pulang ke sekolah selalu berdua, mengendarai sepeda onthel besar berboncengan mesra. Tubuh mereka yang mungil di atas sepeda besar, tetapi dengan penuh semangat Pak Har mengayuh dengan kakinya, membuat saya yang setiap melihatnya jadi merasa lucu dan terharu. Karena rumah mereka tidak begitu jauh dari rumahku, aku sering berpapasan dengan mereka ketika berangkat sekolah, pulang dari sekolah, atau di waktu-waktu libur. Mereka sering kemana-mana berdua naik sepeda besarnya. Kulihat kalau sedang di jalan, mereka berdua asyik ngobrol, sesekali tertawa berdua. Duh, inilah yang bikin aku merasakan sensasi lucu dan mengharukan ketika melihat mereka berdua. Lucu melihat ekspresi wajahnya, mungil tubuhnya, lincah geraknya. Terharu melihat sepasang orangtua kemana-mana bersepeda, masih harus bekerja pula untuk keluarganya. Namun sejak gempa besar melanda Jogja dan aku harus pindah karena rumah yang kutempati sudah rata dengan tanah, aku pun tak pernah bersua lagi dengan pasangan mesra bersepeda ini.


Mereka ini juga pasangan yang kompak. Si bapak ini sering membantu istrinya ketika jualan. Pernah suatu hari si ibu mengeluh lelah pada bapak, lalu bapak menyuruh ibu istirahat dan menggantikan jualan. Tapi, begitu ada anak yang mau beli bakmoi, si bapak tanya-tanya terus, "Bu, nasinya segini? Bu, bawang gorengnya mana ya?" akhirnya si ibu berdiri lagi deh...


Sore tadi aku bertemu dengan Pak Har di Jalan Parangtritis saat aku hendak pulang dari tempat fotokopi-an. Kali ini beliau berjalan kaki dan sendirian saja. Ternyata tempat fotokopi-an itu dekat dengan rumah beliau, hanya berjarak beberapa rumah. Aku sapa beliau, ternyata beliau masih mengenaliku.
"Mampir ke rumah saya, Mbak. Dekat kok. Itu di sebelah kantor pos."
"Iya, Pak. Terima kasih, lain kali aja. Kepingin juga ketemu sama Ibu. Sungkem buat Ibu ya, Pak."
"Wah, Ibu itu sudah ndak ada je. Sudah sejak gempa, selang satu minggu."
"Innalillahi wa inna ilaihi roji'un....aduh, Pak... Ngapunten... maaf, saya ndak tau kalau Ibu sudah ndak ada."
"Nggak apa-apa, Mbak. Setelah gempa itu, ibu terus sakit, livernya nggak kuat."
"Lha yang jualan di kantin sekarang siapa, Pak?" aku langsung teringat dengan bakmoi ibu.
"Mantu saya. Waktu saya tawari, mau nggak, menggantikan ibu jualan? Kalau mau, biar bapak tetap di sekolah, kalau nggak mau, ya biar bapak nggak kerja di sekolah lagi. Ternyata dia mau."


Alhamdulillah, ternyata menantu pak Har mau menggantikan ibu. Lega hatiku, karena bapak masih bisa bernostalgia dengan dengan tempat yang menyimpan banyak kenangan bersama ibu di sekolah.


Ah, Pak Har dan Bu Har. Aku tidak akan pernah melihat lagi kemesraan kalian di atas sepeda. Kemesraan yang  hingga saat ini dan nanti akan tersimpan abadi di boncengan walaupun Ibu sudah tiada.




pictures are taken from here and here

Sabtu, 01 Mei 2010

Online vs Live

Sudah hampir sebulan saya tidak menyambangi dunia maya untuk urusan bersosialisasi. Menulis blog, berkomentar di blog orang, bahkan membuka facebook--situs jejaring sosial ternama yang menghubungkan dengan teman lama atau teman baru--juga tidak pernah. Selama tiga minggu ini saya memang lebih sering beraktivitas di luar rumah, berangkat pagi-pulang malam. Sampai rumah kalaupun belum malam, ya bermain dengan keponakan sampai malam pula. 
Bagaimanapun juga, bertemu dengan orang-orang secara live terasa lebih menyenangkan dibandingkan dengan sekedar "bercengkerama" tanpa bertatap muka. Bukannya "ngobrol" lewat FB, twitter, ataupun saling berkirim komentar lewat blog itu tidak asyik, tapi berinteraksi secara langsung akan lebih melibatkan emosi kita secara total, merasakan emosi orang lain, bisa merespon sinyal-sinyal verbal dan nonverbal secara langsung sehingga kita bisa belajar dari sebuah relasi, apapun itu. Belajar berkomunikasi, memahami orang lain, mengakomodasi apa yang diinginkan oleh orang lain, menyampaikan keinginan kita pada orang lain, dan banyak lagi yang lain. 
Namun, berbagi pengalaman pada orang lain, (yang tidak bisa kita lakukan secara live setiap saat sehingga kita terdorong untuk menuliskannya di blog atau update status di situs jejaring sosial) juga tidak kalah menyenangkan. Menunggu respon dari orang lain, entah itu positif, negatif, memberi masukan, mencecar, itu juga bagian dari berkomunikasi dan kita tetap bisa belajar banyak dari itu.
Hanya saja, sekedar mengingatkan pada diri sendiri dan orang-orang di sekitar saya agar seimbang dalam bersosialisasi. Online ataupun secara live, hendaknya proporsinya sesuai. Agar tidak melulu update status di facebook/twitter, tapi orang di sekitarnya jadi terabaikan. Atau yang belum sempat membagi pengalamannya dengan menulis di blog (seperti saya yang nulisnya masih kumat-kumat-an ini, hehe...) agar menyempatkan diri untuk menulis supaya pengalaman yang berharga menjadi bermanfaat dan bisa diambil hikmahnya oleh orang lain. 


picture taken from: http://picasaweb.google.com/hupo001/2009WinterLandscape#5314164467582312498

Minggu, 11 April 2010

Alifa, Let's Sing Together...



My dearest niece Alifa, let's sing a beautiful song together. It called "Subhanallah", a song from Muslim Nursery Rhymes that is wrote by aunt Fatima Majeed. You dont't know the song yet? Ok, let's sing it together...

Look at the Earth, so wide and long
Look at the sky, so high and tall
Look at the sun, so bright and strong
Look at the moon above so small

Who made the Earth so wide and long?
Who made the sky so high and tall?
Who made the sun so bright and strong?
Who made the moon above so small?

Subhanallah, glory be to ALLAH
Subhanallah, glory be to ALLAH
Subhanallah, Subhanallah, Subhanallah, Subhanallah

Look at the nights and at the days
Look at the skies and at the seas
Look at the mountains and the leeways
Look at the plants and who made the trees?

Who made the nights? Who made the days?
Who made the skies and who made the seas?
Who made the mountains? Who made the leeways?
Who made the plants and who made the trees?

Subhanallah, glory be to ALLAH
Subhanallah, glory be to ALLAH
Subhanallah, Subhanallah, Subhanallah, Subhanallah

Look at the lion so brave and strong
Look at the camel so crooked but nice
Look at the giraffe, its neck so long
Look at the tiger with its bold, bold stripes

Who made the lion so brave and strong?
Who made the camel so crooked but nice?
Who made the giraffe, its neck so long?
Who made the tiger with its bold, bold stripes

Subhanallah, glory be to ALLAH
Subhanallah, glory be to ALLAH
Subhanallah, Subhanallah, Subhanallah, Subhanallah

Senin, 29 Maret 2010

You Are Allah



You are Allah You are always there
When i need You to cry up on and share
Allah the Great Allahu Akbar

I can see You all a round me
I can feel You always near me
I can know You with heart and mind
You created me and other Ooh...so fine

You are Allah You are always there
When i need You to cry up on and share
Allah the Great Allahu Akbar

Strengthen my faith, Lengthen my life
Look up on me and forgive me
Everythings i do every single thing...
Allah is for you...Allah is for you
This song is sung by Yusuf Islam, the legend of munsyid from UK. I know this song since I was child, and the lyric has a deep meaning to remind us that when we can feel Him always near us, then we can always in His guidance. When we walk through to near Him, then He will run to near us
When we run through to near Him, then He will fly to near us
So, what happen when we fly throug to near Him? Subhanallah...

You Are Allah - by. Yusuf Islam                            download

Minggu, 28 Maret 2010

Allah Turunkan Hujan


Di tengah minimnya sumber lagu untuk anak-anak, saya berjuang keras untuk mengingat kembali, lagu anak-anak jaman dulu apa, ya? Mengingat di rumah, kami termasuk suka berkaraoke ria (walaupun dengan suara yang agak fals, cuek aja, toh nggak ada orang lain yang denger, hehe...), dan ada anak kecil yang selalu echoing alias meniru apa yang orang-orang ucapkan di sekitarnya, akan sangat bahaya jika kita menyanyikan lagu-lagu yang tidak tepat. Biasanya di rumah sering terdengar lagu-lagu pengiring aktivitas kami (dari radio, televisi, mp3, dari mulut kami ^_^) dan umumnya yang bisa ditemukan di media elektronik (kecuali mp3, sih...) adalah lagu-lagu bersegmen dewasa. Apalagi lagu jaman sekarang, isinya cinta-cintaaann melulu, mulai dari yang romantis, picisan, nggak karuan, yang jelas liriknya penuh dengan kalimat-kalimat yang kalau didengar dan ditirukan anak kecil, rasanya tidak pas. Apalagi di rumah ada ABG, lagu-lagu dari band yang ngetop sampai yang skuter dia mah apal, suka nyanyiin juga...
Tiba-tiba saya ingat, dulu pas masih kecil pernah ada kasetnya Neno Warisman dan Anak-anak Aulade Gemintang yang nyanyiin lagu "Allah Turunkan Hujan". Tapi dari satu album, hanya dua lagu yang saya ingat, itu pun liriknya suka kebalik-balik. Iseng-iseng searching di internet, eh... ternyata nemu liriknya. Lebih seneng lagi, nemu dari blog seorang teman yang meng-upload lagu-lagunya. Langsung deh, tanpa ba-bi-bu dan menggebu-gebu saya download (setelah itu baru berterima kasih untuk right to copy, hehe... jangan ditiru ya, kebalik itu...). Makasih deh buat Kang Adjie Siliadjie, blog tempat saya download lagu2 ini.
Saya paling suka tiga lagu dari satu album itu dan selalu saya nyanyikan untuk keponakan tercinta, agar dia tumbuh dengan referensi kalimat bermakna dari setiap lagu yang ia dengarkan.

“ALLAH TURUNKAN HUJAN”
Allah turunkan hujan
Dari gumpalan awan
Dari langit yang tinggi
Membasahi seluruh bumi
Bumi jadi subur
Tanah jadi gembur
Allah tumbuhkan sayur mayur
Bumi jadi subur
Tanah jadi gembur
Pantaslah kita bersyukur

Allah makes the rain fall
From clauds up in the sky
The rain falls to the ground
And wets the earth thats dry
The rain makes the earth rich
The plants grow all around
Our garden are so full of life
The rain makes the earth rich
The plants grow all around
We thank God for beauty that’s abound

Download lagunya

"HELLO MY DEAR"
hello my dear, my sisters and brothers
lets pray to Allah 
five times a day, we do everyday 
we’ll be happy in Gods way
halo kawan, kawanku sayang mari kita sembahyang
satu hari, lima kali sujud pada Illahi Robbi

Download lagunya


“ALWAYS REMEMBER”
Kusambut pagi yang segar
Bersyukur pada pencipta
Kutempuh siang yang riang
Slalu kuingat Yang Kuasa
Kujelang sore yang cerah
Tak lupa pada Yang Esa
Kusadari senja tlah tiba
Karena-Mu ku memohon
(ku memohon pada-Mu)
Kututup malam yang indah
Bersujud pada-Mu Allah

Welcome to the fresh crispy morning
Grateful to the great Creator
Working on a cheerful day
Always remember the Mighty God
Watching for the bright afternoon
In my mind ALLAH is the One
Realizing sunset has come around
Only to You, I beg and pray
(Beg and pray to You)
Closing the wonderful night
By calling to You, dear ALLAH

Download lagunya

Sabtu, 27 Maret 2010

Sensitif, Perlu Itu (Bag. 2)

Setelah di-recall, ternyata cukup banyak sumber yang berhasil memompa keluar air mata saya. Mulai dari bacaan, film, lagu, dan lain-lain. Tentu yang paling diingat adalah yang paling berhasil membuat air mata saya terkuras sampai habis dan menyebabkan kantung mata saya sebesar kantung yang biasa dipakai latihan tinju.
  1. Buku. "A Child Called It" karangan David Pelzer berhasil membuat saya terenyak selama tiga hari dengan kantung mata tebal dan lengan baju selalu basah karena dipakai menyeka, tetapi saya tidak bisa meletakkan buku ini dan berhenti membacanya. Buku ini menuturkan kisah nyata pengalaman sang penulis tentang masa kanaknya yang menyedihkan. Ia merupakan korban kekerasan sadis (child abuse) dari ibu kandungnya sendiri yang mengalami ketidakseimbangan mental. Hari-harinya dilalui dengan berbagai penyiksaan ibunya, mulai dari dikurung dalam basement, dipaksa berbaring di atas kompor panas, dipaksa memakan kotorannya sendiri, meminum cairan pembersih kloset, sampai ditusuk perutnya menggunakan pisau. Tidak hanya itu, si ibu juga orang yang manipulatif, sehingga para tetangga dan guru di sekolah dibuat tidak mempercayai keterangan anaknya, sebaliknya malah menganggap David ini adalah anak nakal. Bahkan sekuelnya (The Lost Boy) juga membuat airmata sedikit meleleh. Buku ini saya baca dulu saat SMP, sambil jaga warung. Beberapa pembeli heran melihat saya meladeni mereka dengan mata sembab (mudah-mudahan tidak dikira pembantu yang disiksa majikan, hehehe...)
  2. Film. "I am Sam" yang dibintangi Liam Neeson dan Dakota Fanning juga menguras air mata. Perjuangan seorang ayah yang menderita retardasi mental dalam memperjuangkan hak asuh atas anak tunggalnya menjadi inti cerita. Sang ayah yang telah berusia 30-an memiliki usia mental layaknya anak 8 tahun. Maka sesuai putusan pengadilan, ketika sang anak menginjak usia 8 tahun, ia harus diambil oleh dinas sosial karena dikhawatirkan sang ayah tidak dapat melakukan pengasuhan atas anaknya. Namun ikatan batin yang kuat tidak dapat memisahkan mereka. Maka sang ayah mati-matian membuktikan pada pengadilan bahwa ia mampu menjadi ayah yang baik. Mendapat pekerjaan sebagai pelayan kedai kopi dan pengurus anjing peliharaan, mampu mengurus rumah tangga, belajar mengoperasikan alat-alat rumah tangga, dan menunjukkan perilaku dan emosi layaknya orang dewasa. Begitu juga sang anak yang berusaha membantu ayahnya dengan selalu menutupi kekurangan ayahnya, membantu menghafal jenis kopi yang dijual sang ayah, membereskan rumah, dll. Sulit diceritakan, menarik untuk ditonton ^_^
  3. Tayangan Televisi. "Jika Aku Menjadi" tepatnya pada bagian akhir acara, ketika keluarga yang ditempati sang tamu mendapat hadiah dari tim JAM. Hiks...hiks... banjir air mata deh... Y_Y
  4. Lagu. "The Last Breath" yang dilantunkan Ahmad Bukhatir menciptakan kesan yang bercampur: ngeri, sedih, dan semangat sekaligus. Liriknya ada di postingan saya terdahulu.
  5. Pengalaman. Pengalaman saya bertemu dengan seorang nenek tua yang masih harus berjualan menghidupi keluarganya, padahal berjalan saja beliau sudah kesusahan. Juga dengan seorang bapak tua dan mengalami cacat fisik, tetapi ia masih gigih menjajakan koran dan hasta karya di perempatan dekat Lapangan Mandala Krida. Semoga Allah menghadiahinya kemuliaan di dunia dan akhirat, amiin. Hhhh.... lagi-lagi membuat saya menangis...

Jumat, 26 Maret 2010

Sensitif, Perlu Itu (Bag. 1)

Saya akui, saya memang termasuk orang yang cengeng. Melihat, mendengar, dan merasakan hal-hal yang sedikit melankolis sering membuat dada saya tiba-tiba serasa sesak dan kantung mata terasa berat dan penuh, hingga akhirnya tumpahlah cairan bening bernama air mata, menderas membasahi pipi. Tidak selalu sih, tetapi bisa dikatakan tidak jarang. Kadang-kadang pada saat sedang melihat film bersama dengan saudara-saudara saya, mereka selalu melirik ke wajah saya kalau pas ada adegan mengharu biru. Awalnya saya tidak menyadari kebiasaan ini, kemudian jadi malu karena setiap selesai nonton film drama, pasti mata dan hidung saya yang paling merah, suara saya yang paling serak karena mati-matian menahan tangis dibanding kakak-kakak dan adik saya. Tapi lama-lama, ah... cuek ajalah...


Sensitifitas memang perlu dibangun. Empati wajib ada dalam setiap diri kita, tak peduli laki-laki atau perempuan. Kalau perempuan sih memang stereotype dan identik dengan hal-hal berbau emosional, mewek-mewek, cengeng, dan lebih menangis dibanding kaum laki-laki. Tetapil laki-laki juga sesekali harus menikmati emosi kesedihan, merasa lemah, dan menitikkan air mata. Terserah apakah mau menikmati dengan berbagi dengan orang lain, sendirian mengurung di kamar, atau sembunyi di semak biar tidak ada yang tahu. Wanita pun tidak selalu ingin menampakkan air matanya. Saya malah termasuk yang anti menangis di depan laki-laki, tidak rela kalau dibilang cengeng :). Tapi dengan menghayati emosi sedih (salah satu emosi dasar manusia), maka ketika kita berhadapan dengan orang lain yang sedang bersedih, kita bisa bersikap dengan sesuai, menyelaraskan emosi kita. Itu yang dinamakan membangun empati. Begitu pula  dengan menitikkan air mata. Menangis adalah salah satu cara katarsis (pembersihan/peluapan emosi atau menghilangkan beban mental) yang sederhana karena kita tidak memerlukan objek lain sebagai pelampiasan, seperti memukul sesuatu. Orang yang berhasil menuntaskan emosi-emosi negatifnya, itulah yang disebut dengan sehat secara mental. Dengan merasa lemah, maka kita terhindar dari kesombongan, selalu sadar bahwa kita hanyalah makhluk yang memiliki keterbatasan, dan selalu ingat bahwa ada kekuatan Yang Maha, yang hanya dimiliki oleh Sang Khalik. Hanya pada-Nya lah kita memohon agar kita diberikan kekuatan untuk menghadapi cobaan. 


Tanpa adanya pengalaman emosi seperti itu, mungkin saja kita akan menjadi orang yang tega menendang seorang fakir-miskin yang meminta pertolongan. Atau kita akan melenggang kangkung dengan wajah yang kita dongakkan ke atas saat melihat anak yatim yang tak terurus. Maka lengkaplah gelar yang kita sandang sebagai pendusta agama (simak kembali QS Al-Ma'un).


Rasa empati perlu dilatih. Bahkan sejak kanak. Itulah sebabnya setiap orangtua mengajarkan anaknya untuk saling berbagi, menolong yang tidak mampu, memunculkan rahman dan rahim pada setiap anaknya. Mudah-mudahan saya bisa mengajarkan pada anak-anak saya kelak, bagaimana menjadi orang yang humble, empatik, dan peduli. Amiin...


picture is taken from http://www.trekearth.com/gallery/Middle_East/Kuwait/East-Central/Hawalli/photo425662.htm

Kamis, 25 Maret 2010

Oalah, Nak...

Suatu malam saya mengajari seorang anak SD kelas 4 pelajaran bahasa Inggris. Tidak ada rencana belajar bahasa Inggris malam itu. Malah saya sudah menyiapkan soal matematika untuk dia kerjakan. Tapi sepertinya ia sedang suntuk karena sore tadi ia dimarahi oleh ayahnya, dan ia mengajak saya untuk bernyanyi. Oke, jawab saya, "Mau nyanyi apa? 'Que Sera-sera' aja, yuk? Atau 'Allah Makes the Rain Fall'?" "Nggak mau!" diam sejenak. Sepertinya dia sedang berpikir. Tiba-tiba... "Aku ada ide!! Gimana kalo' kita bikin lagu bahasa Indonesia jadi bahasa Inggris?", "Boleh juga. Idemu bagus. Mau lagu apa? Laskar Pelangi aja, ya?", "Jangaan...aku nggak suka." "Oke, mau lagu apa?", "Mmm...Bunga Citra Lestari ajah..." lalu ia mulai benrnyanyi dengan lancarnya "...bilang mama-mu, tak perlu kuatir ataupun curiga kepadaku...bilang papa-mu ku takkan buat kau menjadi anak yang nakal... biarkanlah saja dulu, kita jalan berdua... la...la...la..."

Huwee...anak kelas empat esde hobby sama Bunga Citra Lestari? Yang suka nyanyi lagu cinta-cintaan itu? Oh My God... what a pity... Kenapa mereka tidak punya profil figur yang seusia dengan mereka? Saya jadi berpikir ulang, iya ya, kok nggak ada lagu yang pas untuk anak seusia mereka... Masa' anak umur 9 tahun menyanyi lagu cinta dengan fasihnya, dengan kata-kata romantis tapi gombal...dan mereka tidak tahu makna dari nyanyian itu... Mengapa mereka tidak bernyanyi tentang cita-cita, tentang persahabatan mereka, tentang ayah dan ibu, atau tentang pengalaman keseharian mereka...

Haduu...padahal perkembangan kecerdasan bahasa anak kan dibentuk lewat nyanyian, bacaan, dan tayangan yang mereka konsumsi setiap hari. Kalau anak-anak ini tidak punya lagu khusus untuk segmen mereka sendiri, bagaimana nasib perkembangan bahasa dan emosi mereka, ya? Masa' kecil-kecil nyanyinya "...cinta inii..., membunuhkuu..." atau, "...engkaulah makhluk Tuhan, yang tercipta yang paling seksi...ah...ah...ah...".

Kira-kira rasa bahasa yang seperti apa yang mereka serap dalam otak dan hati mereka?

Selasa, 23 Maret 2010

When It Comes The Time We Have to Prove, So Prove It !

Hampir semua orang, ketika ditanya, kepada siapa keberhasilan Anda dipersembahkan? Maka, mereka--termasuk juga kita--akan menjawab, "Untuk Ibu. Untuk Ayah."

Semua pencapaian yang kita raih selalu tidak lepas dari dukungan, bimbingan dan doa dari sosok mulia bernama ibu dan ayah. Mulia tidak hanya karena manusia yang menganugerahkan kemuliaan itu, tetapi juga mulia atas dasar perintah agama. Rasul pula yang telah bersabda agar manusia memuliakan mereka segera setelah Allah dan Rasul. Maka, beruntunglah orang-orang yang semasa hidupnya sempat memuliakan orangtuanya. Ketika tiba saat Tuhan memanggil ibu atau ayah lebih dahulu, mereka akan menghabiskan sisa hidupnya dengan ketenangan, kelegaan, dan kebanggaan pada diri karena telah berhasil menjadi anak yang berbakti. Akan tetapi ketika ada orang yang merasa pernah mengecewakan orangtua, terutama ibu, pasti ia pun akan merasa kecewa pada diri sendiri, bahkan mungkin lebih besar.
Mungkin sebagian kita yang saat ini masih hidup berdampingan dengan orangtua, masih tinggal di rumah orang tua, masih bernaung di bawah perlindungan orang tua walaupun tidak tinggal bersama, mungkin sekolah berjauhan dengan rumah, di kost, asrama, pesantren, belum akan menyadari bahwa suatu saat akan tiba waktunya, kitalah yang lebih berdaya daripada orangtua kita. Ayah atau ibu kita akan mulai berkurang kemampuan untuk mengurus diri mereka. Di situlah dimulai ujian kebaktian kita yang sesungguhnya pada mereka. Akankah kita sabar mengurus orangtua, sesabar mereka ketika mengurus kita sepanjang usia hingga kita dewasa? Jika kita sanggup melewati proses itu selama 20-30 tahun, maka kita boleh menyandang gelar sebagai anak berbakti, karena selama itu pula mereka sabar mengurus kita.


Berbahagialah salah seorang sahabat saya, yang semasa hidupnya diberi kesempatan oleh Allah untuk menunjukkan rasa bakti mereka pada ibunya dan yang saya tahu mereka menunjukkannya dalam porsi yang lebih, dibanding saya dan teman-teman yang lain sehingga saya bisa belajar darinya. Ia adalah anak bungsu dan ia menunjukkan bahwa anak bungsu dengan stereotype manja bisa berubah menjadi anak yang sangat bertanggungjawab dan mandiri. Semua kakaknya mendapat pekerjaan yang mengharuskan mereka hidup berjauhan dari keluarga sehingga tinggallah ia dan ayah-ibunya di rumah. Pada saat ia di tahun ketiga kuliah, ayah dan ibunya mulai sakit-sakitan secara bersamaan. Tempat kuliahnya di luar kota dan ia harus pulang-pergi setiap hari menempuh perjalanan sejauh hampir 100 km untuk kuliah. Ia tidak bisa indekost karena ayah-ibunya harus periksa kesehatan di rumah sakit beberapa hari sekali. Lama-lama sakit orangtuanya semakin parah, dan harus pulang-pergi ke berbagai Rumah Sakit di beberapa kota, sampai-sampai ia tidak pernah pulang ke rumah, melainkan harus bolak-balik ke rumah sakit dan ke kampus. Sering ia kelelahan karena dua urusan yang berat, tugas-tugas kuliah dan mendampingi orangtua. Kakaknya yang telah bekerja sehingga tidak bisa seenaknya saja bolak-balik mendampingi orangtuanya yang keluar-masuk rumah sakit, sehingga sahabat saya inilah yang tidak melepaskan pengawasannya pada ayah-ibunya. Beban ini tidak semua orang diberi jatah memikulnya.


Beban lain yang tidak dapat terlepas adalah banyaknya biaya yang ia butuhkan untuk menjalani kehidupannya yang berat. Biaya pengobatan kedua orangtuanya yang tentu tidak murah, biaya transportasi hingga ke luar kota, termasuk dirinya sendiri, dan biaya kuliahnya. Ia bukan mahasiswa yang beruntung mendapatkan beasiswa sehingga semua itu harus ditanggung secara swadaya. Memang beberapa kakaknya telah bekerja, dan bukannya mereka tidak mengusahakan biaya itu. Tetapi usaha mereka telah maksimal dan tetap saja tidak dapat langsung menutup biaya pengobatan untuk dua orang dengan sakit kronis yang cukup berat sehingga dengan terpaksa mereka menurunkan ego untuk meminta pinjaman sana-sini. Dan ini semua ia hadapi dengan selalu tersenyum di depan semua orang dan menyimpan tangisnya untuk dirinya sendiri.


Hingga pada suatu saat, sakit ibunya semakin parah di saat sakit ayahnya belum sempat membaik. Selama hampir dua minggu ia menunggui ibunya di rumah sakit, beberapa hari di ICU. Ia tak dapat menghubungi siapa-siapa sehingga ia harus mengurus administrasi dan menunggui ibunya sekaligus. Beberapa hari dirawat, sang ibu sempat membaik. Alhamdulillah, hati siapa yang tak senang? Ia bisa tertawa-tawa dengan sang ibu. Akan tetapi kondisi sang ibu kembali memburuk hingga tiba suatu hari Sang Khaliq memanggilnya. Innalillahi wa inna ilaihi roji'un...
Saya sangat banyak mengambil hikmah dari sahabat saya yang satu ini. Setiap mengenang kembali kisah-kisahnya bersama sang ibu, membuat saya ingin segera menemui ibu saya yang masih ada dan menunjukkan bahwa saya sangat bertekad untuk berbakti pada beliau.


Sahabatku, tangismu yang tak pernah kau bagi akan berubah menjadi air mata bahagiamu di akhirat.
Segala kepayahanmu membuatmu menjadi anak yang shalihah, dan menjadikan doamu sebagai jariyah yang meringankan perjalanan ibumu di alam barzah. Mungkin sekarang Ibumu sedang merasakan hangat dan tersenyum merasakan doamu. Allaahummaghfirli wa li waa lidayya warhamhuma kamaa robbayaanishaghiiraa...

Sabtu, 06 Maret 2010

They Come

Tears...
They came when we can't fight our fears
But laughs...
They came when we're in the first place and becoming tough
And smiles...
They came when we can pass the obstacle in hundred miles

Both will never enough
If we don't complete them with love

Selasa, 23 Februari 2010

O…ow…


Buka-buka blog lama, kok nemu kenangan masa lalu. Bikin ketawa sendiri, hihihi... biar ketawanya ga' sendiri, posting lagi aja ke sini...

Pernah merasa sangat konyol setelah melakukan kesalahan atau kecerobohan?

Beberapa hari lalu aku mengantar seorang teman ke stasiun. Siang itu kami ngobrol lama sembari menunggu kereta Prameks datang. Setelah si teman berangkat dengan keretanya itu, aku menuju tempat parkir untuk mengambil sepeda motor. Dengan disertai sapa dan senyum ramah, si tukang parkir menghampiri dan berkata, “Sudah mau pulang, Mbak?” maka akupun dengan menjawab dengan senyum ramah serupa, “Sudah, Pak.”
Aku keluarkan kunci motor, kumasukkan ke dalam lubang kontak. Kemudian aku mulai sibuk mencari-cari karcis parkir yang tadi kumasukkan ke dalam tas. Tasku memang tidak bersaku, hanya memiliki satu kantong besar yang semua barang kumasukkan ke dalamnya. Kuaduk-aduk seluruh isinya, tetapi tak kutemukan. Akhirnya aku hanya dapat memasang tampang memelas sambil berkata pada bapak tukang parkir, “Maaf Pak, karcisnya kok nggak ada, ya?”. Lalu si bapak bertanya, “Tapi ini motornya kan, Mbak?”. “Iya, Bapak (yah... si bapak gimana sih, kan kuncinya juga udah nancep). Mmmm…ini ada STNK(Surat Tanda Kendaraan Bermotor)-nya.” Langsung kukeluarkan STNK dari dalam tasku dan kuserahkan pada si bapak. setelah si bapak memeriksa nomornya, ternyata raut wajahnya berubah sembari berkata, “Kok nomornya beda, Mbak?” O…ow… ternyata STNK yang kuambil adalah milik ayahku-vespa. Aduuhh…tambah panik nih. Kalo aku dikira tersangka curanmor gimana, nih?? “Aduh Pak, maaf…maaf… STNK-nya tertukar sama bapak saya.” Memang pagi tadi aku terburu-buru mengambil STNK dari dompet ayahku dan tidak sempat mengecek nomornya.

Kuaduk-aduk lagi isi tasku, sambil sesekali mengarahkan pandanganku ke bapak parkir. Kepanikanku ternyata disambut dengan... seraut wajah tampan, indah mempesonaa... eh, bukaann... (kok malah nyanyi lagunya dewi persik, sih... ketauan penikmat dangdut, nih...) seraut wajah yang memicingkan matanya tanda agak (masih husnudzon) curiga. Ternyata setelah beberapa lama, kutemukan secarik karcis parkir berwarna putih dan langsung kuserahkan pada si bapak. Maka si bapak pun membiarkanku berlalu. Duuu... malunya aku.... Aku pun langsung menghidupkan mesin dan menutup kaca helm standarku agar tidak terlihat malu. Tapi, yang membuat aku amat sangat nggak enak hati, waktu si bapak menghampiri teman-temannya, ia berbicara dengan mimik wajah yang aneh sambil melihat ke arahku (lho, kok malah jadi suudzon begini, sih...astaghfirullah...).
Aduh-aduh….masak perempuan berjilbab sepertiku punya tampang mencuri motor, eh… mencurigakan, sih??? Even a person like me can be the suspect… Oh my God… Maafkan aku para muslimah, telah membuat image kalian agak (hehe...kalo' yang ini husnudzon sama diri sendiri) ternoda di depan tukang parkir stasiun Lempuyangan…




Rabu, 17 Februari 2010

Baca, Sana..!!

Kebiasaan membacaku terbentuk tidak secara alami. Bahkan aku dulu benci membaca. Padahal semua kakakku hobby membaca. Tapi aku ingat masa kecilku kuhabiskan dengan berlarian kesana-kemari, jarang belajar, konsentrasi payah, tulisan tangan jelek (kalo ini, sampai saat ini juga masih,...^_^). Bahkan, baca komik pun ogah, padahal gambar sama tulisan banyakan gambarnya. Sampai kakak pertamaku berkomentar penuh dengan ekspresi tak percaya dan posisi bibir yang mencibir, "Ih...masak disuruh baca aja nggak betah? Padahal komik..." (setidaknya, itulah yang aku ingat dan yang pernah diingatkan). Pernah, suatu saat, kakakku memberi satu bahan bacaan untukku, komik donal bebek. Baru disuruh baca lima menit, itu komik udah tergeletak, dan aku sudah berlarian ke sana-kemari. Pada saat ditanya kakakku, "Gimana ceritanya?" aku cuma bisa nyengir, *heee....*

Tapi lama-lama aku perhatikan juga, tiap kakakku pada kumpul, kok yang dibicarakan cerita yang aku nggak ngerti, ya? Penasaran juga. Ternyata, mereka ngerumpiin buku-buku yang dibaca. Wah, oke juga 'pancingannya'. Aku jadi ikut 'nyicip' baca apa yang mereka baca. Oh, ternyata seru juga. Mulai dari baca komik (bertahap, awalnya suka komik dulu), cerpen-cerpen yang ada di majalah Bobo, sampai buku-buku sejarah milik ayahku. Kemudian aku ingat disuruh baca novel setebal kira-kira 300-an halaman. Ceritanya tentang ekspedisi penyelamatan seekor gorilla bernama Ami ke negara asalnya, Kongo (yang kemudian menjadi nama julukanku, karena nama panjangku Shobria Nurul IslAMI, Y_Y) makanya novel ini diberi judul Congo, karangan Michael Crichton. Dan satu lagi, novel petualangan menegangkan seorang anak saksi peristiwa pembunuhan bersama pengacara pro-bono-nya, berjudul The Client, karangan John Grisham. Kedua buku itu kulahap saat aku duduk di bangku kelas lima SD. Wah, rupanya treatment kakakku berhasil. Dalam waktu dua tahun (terhitung sejak aku kelas 4 sampai akhir kelas 5), mulai dari benci baca komik, sampai bisa menyelesaikan novel setebal 300 halaman. Sejak saat itu, aku ikut mengantri baca kalau ada buku 'nangkring' di rumah. Aku sih pasti dapat giliran terakhir, soalnya kecepatan membacaku jauh dibawah rata-rata. Tapi, lama-kelamaan, progress-nya lumayan juga. Dari total 5-6 antrian, aku bisa dapat nomor urut 3 atau 4, lumayan lah... Buku tebel? sikat-laah... Sampe aku nggak nyangka, bisa selesai baca Mushashi yang nyampe 1000 halaman lebih itu... (buku sama badanku aja, lebih berat bukunya, ^_^)


Selasa, 16 Februari 2010

Belajar dari Ibuku


Ibu adalah sosok wanita yang berhati lembut.
Anak siapa yang tidak akan mengakui kelembutan hati ibunya? Belahan jiwanya, muara hatinya, pelita hidupnya... Nah, ibuku adalah salah satu dari sekian wanita itu.
Kebiasaannya memanggil pedagang asongan, membeli dagangannya hanya sekedar memutar siklus perekonomian masyarakat menengah kebawah, alias karena kasian.
"Dek, ambilkan sepatu ibu yang coklat, yang 'mangap' itu lho. Biar dijahit sama bapak tukang sol di depan." padahal sepatu itu sudah tidak pernah dipakai lagi, dan sepertinya kalau dijahit-pun tetap tidak akan dipakai lagi. Tapi ibu menjaga harga diri si bapak, agar tidak menerima uang sekedar belas kasih, sedekah, atau apapun namanya.
Atau saat di kereta dalam perjalanan pulang dari Jakarta. Yang awalnya tidak niat bawa oleh-oleh banyak, eh... turun dari kereta kreseknya jadi berat, gara-gara beli lanting, getuk goreng, bahkan lotek dari pedagang asongan. Juga sore tadi saat hujan turun, tiba-tiba rumah diketuk oleh nenek penjual sayuran. Setelah belanjaan ibu dihitung dan divonis sebanyak delapan ribu rupiah, ibu kaget. Bukan karena kemahalan, justru karena terlalu murah. Maka ibu bersikeras agar belanjaan dihitung detilnya. "Itu jeruk berapa? Wortel sama tomat berapa? Terus cabe segitu berapa? Jangan sampe rugi lho, Bu..." bahkan ibu menyuruhku membantu menghitungkan harga belanjaannya saat beliau beranjak ke belakang untuk mengambil uang. Tapi memang sih, terlalu murah harga sayuran si nenek. Di saat harga tomat sebiji di Jakarta seribu rupiah, di sini seribu dapat enam biji, gede-gede pula. Maka saat ibuku menyodorkan selembar sepuluh ribuan, beliau meminta si nenek menyimpan kembaliannya.


Sering-kah kita memperhatikan orang-orang seperti pedagang sandal kayu alias "theklek" yang memikul barang dagangannya yang sedang mengaso di bawah pohon, sambil mengelap peluhnya dengan handuk kecil kumal, mencoba menyelami benak mereka, sudah berapa pasang theklek yang kujual hari ini?
Atau bapak tua pengayuh becak yang memarkir becaknya di tepi jalan, yang berkeringat dan mendudukkan badannya di dalam becaknya setelah mengitari kota yang dipenuhi mobil-mobil pribadi dan sepeda mootor, sambil mulai memejamkan mata dan bermimpi, berharap nanti akan dibangunkan oleh calon penumpang yang minta diantarkan ke suatu tempat.
Atau pedagang es puter keliling yang berteduh di emper toko karena hujan, sambil mengira-ngira, sudah berapa rupiah yang ia kumpulkan hari ini? Cukupkah untuk biaya makan?
Atau pedagang kacang dan jagung rebus yang yang suara gemerincing gerobaknya masih bisa terdengar hingga pukul sebelas malam, sambil membayangkan, anak-istrinya tidur kedinginan di rumah, menanti kepulangan ayah dan suami mereka, padahal dagangannya masih menggunung bertengger di atas gerobaknya.

Sering kali kita tidak memperhatikan kemana perginya uang dari kantong kita. Untuk membelanjakan di mana barang-barang keperluan kita.
Apakah membeli barang-barang di supermarket, hypermarket, ataukah di warung-warung tetangga kita, padahal selisihnya tak lebih dari seribu rupiah. Biaya ongkos ke mall saja lebih mahal dari selisih harga belanjaan kita.
Apakah membeli sayur di supermarket lagi, atau memilih pergi ke pasar tradisional, hanya karena kita tak rela melangkahkan kaki di tempat becek, sedikit bau dan panas.
Apakah membeli nasi di restoran franchise dari luar negeri, ataukah memilih mampir di warung sederhana atau di angkringan, hanya sekedar mempertahankan gengsi yang tingginya tak melebihi tanaman cabe.
Tangan siapa yang nantinya menerima uang gaji kita, para pedagang kecil yang untuk mendapatkan keping ratusan harus survival, atau kepada pengusaha mall yang menggusur pasar dan warung kelontong?

Sepertinya aku harus banyak belajar menjadi orang yang peka, seperti ibuku.

Selasa, 09 Februari 2010

DEPRESI

Pernah merasa sedih, tidak bahagia, atau seolah-olah ada palu yang dihantamkan ke dada dan kepala? Hal ini normal kita rasakan sesekali. Namun jika perasaan ini terasa amat sering dan tidak bisa dihilangkan sehingga membuat manusia merasa tidak berfungsi seperti biasanya. Perasaan sedih yang begitu mendalam inilah yang disebut depresi yang sebenarnya. Satu dari empat wanita dan satu dari delapan pria mengalami satu episode depresi dalam hidupnya.

Depresi bagaikan musuh dalam selimut, gejalanya sulit dideteksi. Kita hanya bisa mengetahui perlahan-lahan perasaan sedih yang membawa manusia, secara bertahap mengubah cara berpikir, merasa, bereaksi, dan mengubah pribadi manusia.

Depresi ini merupakan masalah serius dan akhir-akhir meningkat di kalangan usia muda.

APA ITU DEPRESI?

Oke, karena saya bukanlah seorang dokter atau psikiater, maka saya akan menjelaskan depresi dengan sebuah analogi, seperti yang dikemukakan oleh Dr. Joseph Rey dalam bukunya “More Than Just the Blues”.

Bayangkan Anda berada dalam ruangan yang ber-AC. Temperature ruangan terasa sejuk dan Anda merasa nyaman dan dapat beraktivitas dengan baik. mungkin termostatnya (alat pengatur/pengimbang suhu) menunjukkan angka 18 atau 20 derajat Celcius. Namun jika termostat rusak dan mengubah temperature menjadi sangat rendah, katakanlah 4 derajat Celsius, maka Anda akan mearasa sangat tidak nyaman, bahkan seakan-akan beku dan tidak dapat bekerja dengan baik. hal ini serupa terjadi jika Anda mengalami depresi.

Kita memiliki suatu mekanisme layaknya termostat dalam otak yang mengontrol mood. Sebagai hasilnya, perasaan kita berada dalam range normal: kita bisa merasa senang atau sangat senang pada saat hal baik terjadi; atau juga merasa sedih suatu saat kita merespon situasi yang tidak menyenangkan. Kondisi naik-turun ini tidak berlangsung lama dan biasanya kita kembali pada atmosfer yang stabil setelah beberapa saat.

Seseorang menjadi depresi saat mekanisme ini rusak. Saat “mood thermostat” mengatur temperature emosional pada level yang sangat rendah, hal ini membuat ia berpikir, merasa, dan bereaksi secara negative dan tanpa harapan. Bayangkan saja ini seperti saat Anda bangun tidur dengan memakai kacamata hitam. Anda melihat semua serba abu-abu, gelap, dan suram. Banyak orang dalam situasi seperti ini berpikir bahwa ada yang salah dengan diri mereka, padahal sebenarnya yang terjadi adalah, sesuatu yang salah sedang menimpa diri mereka.

Yang perlu ditekankan adalah depresi bukan disebabkan oleh kelemahan seseorang, ataupun kemalasan dan kurangnya kemauan. Ini merupakan suatu kondisi gangguan emosional yang bisa ditangani/ditreatmen baik secara medis dan/atau psikologis.

Last Breath (Akhmad Bukhatir)



I found this song today, I listened to it, then I stunned for a while...
my heart drummed so fast, and I couldn't wait any longer to share the lyrics to you...

From those around I hear a Cry,
A muffled sob, a Hopeless sigh,
I hear their footsteps leaving slow,
And then I know my soul must Fly!

A chilly wind begins to blow,
within my soul, from Head to Toe,
And then, Last Breath escapes my lips,
It's Time to leave. And I must Go!

So, it is True (But it's too Late)
They said: Each soul has its Given Date,
When it must leave its body's core,
And meet with its Eternal Fate.

Oh mark the words that I do say,
Who knows? Tomorrow could be your Day,
At last, it comes to Heaven or Hell
Decide which now, Do NOT delay !
Come on my brothers let's pray
Decide which now, Do NOT delay !


Oh God! Oh God! I cannot see !
My eyes are Blind! Am I still Me
Or has my soul been led astray,
And forced to pay a Priceless Fee
Alas to Dust we all return,
Some shall rejoice, while others burn,
If only I knew that before
The line grew short, and came my Turn!

And now, as beneath the sod
They lay me (with my record flawed),
They cry, not knowing I cry worse,
For, they go home, I face my God!

Oh mark the words that I do say,

Who knows, Tomorrow could be your Day,
At last, it comes to Heaven or Hell
Decide which now, Do NOT delay !
Come on my brothers let's pray
Decide which now, do not delay ....