Jumat, 26 Maret 2010

Sensitif, Perlu Itu (Bag. 1)

Saya akui, saya memang termasuk orang yang cengeng. Melihat, mendengar, dan merasakan hal-hal yang sedikit melankolis sering membuat dada saya tiba-tiba serasa sesak dan kantung mata terasa berat dan penuh, hingga akhirnya tumpahlah cairan bening bernama air mata, menderas membasahi pipi. Tidak selalu sih, tetapi bisa dikatakan tidak jarang. Kadang-kadang pada saat sedang melihat film bersama dengan saudara-saudara saya, mereka selalu melirik ke wajah saya kalau pas ada adegan mengharu biru. Awalnya saya tidak menyadari kebiasaan ini, kemudian jadi malu karena setiap selesai nonton film drama, pasti mata dan hidung saya yang paling merah, suara saya yang paling serak karena mati-matian menahan tangis dibanding kakak-kakak dan adik saya. Tapi lama-lama, ah... cuek ajalah...


Sensitifitas memang perlu dibangun. Empati wajib ada dalam setiap diri kita, tak peduli laki-laki atau perempuan. Kalau perempuan sih memang stereotype dan identik dengan hal-hal berbau emosional, mewek-mewek, cengeng, dan lebih menangis dibanding kaum laki-laki. Tetapil laki-laki juga sesekali harus menikmati emosi kesedihan, merasa lemah, dan menitikkan air mata. Terserah apakah mau menikmati dengan berbagi dengan orang lain, sendirian mengurung di kamar, atau sembunyi di semak biar tidak ada yang tahu. Wanita pun tidak selalu ingin menampakkan air matanya. Saya malah termasuk yang anti menangis di depan laki-laki, tidak rela kalau dibilang cengeng :). Tapi dengan menghayati emosi sedih (salah satu emosi dasar manusia), maka ketika kita berhadapan dengan orang lain yang sedang bersedih, kita bisa bersikap dengan sesuai, menyelaraskan emosi kita. Itu yang dinamakan membangun empati. Begitu pula  dengan menitikkan air mata. Menangis adalah salah satu cara katarsis (pembersihan/peluapan emosi atau menghilangkan beban mental) yang sederhana karena kita tidak memerlukan objek lain sebagai pelampiasan, seperti memukul sesuatu. Orang yang berhasil menuntaskan emosi-emosi negatifnya, itulah yang disebut dengan sehat secara mental. Dengan merasa lemah, maka kita terhindar dari kesombongan, selalu sadar bahwa kita hanyalah makhluk yang memiliki keterbatasan, dan selalu ingat bahwa ada kekuatan Yang Maha, yang hanya dimiliki oleh Sang Khalik. Hanya pada-Nya lah kita memohon agar kita diberikan kekuatan untuk menghadapi cobaan. 


Tanpa adanya pengalaman emosi seperti itu, mungkin saja kita akan menjadi orang yang tega menendang seorang fakir-miskin yang meminta pertolongan. Atau kita akan melenggang kangkung dengan wajah yang kita dongakkan ke atas saat melihat anak yatim yang tak terurus. Maka lengkaplah gelar yang kita sandang sebagai pendusta agama (simak kembali QS Al-Ma'un).


Rasa empati perlu dilatih. Bahkan sejak kanak. Itulah sebabnya setiap orangtua mengajarkan anaknya untuk saling berbagi, menolong yang tidak mampu, memunculkan rahman dan rahim pada setiap anaknya. Mudah-mudahan saya bisa mengajarkan pada anak-anak saya kelak, bagaimana menjadi orang yang humble, empatik, dan peduli. Amiin...


picture is taken from http://www.trekearth.com/gallery/Middle_East/Kuwait/East-Central/Hawalli/photo425662.htm

0 comments:

Posting Komentar