Senin, 20 Desember 2010

Negeri Impian

Alangkah indahnya membayangkan tinggal di negeri impian. Bukan negeri yang supermegah atau supercanggih, tetapi hanyalah sebuah negeri yang setiap penduduknya merasakan hangatnya selimut di malam hari, segarnya udara pagi hari, nyamannya bekerja setiap hari, saling berpapasan dengan bertukar senyum, membesarkan anak-anak dengan perasaan aman. Bukannya merasa khawatir setiap hari melepas anaknya berangkat ke sekolah, berharap anaknya pulang dengan selamat tidak dibawa lari orang di tengah jalan, atau merasa skeptis dengan setiap penjual di pasar karena setiap membawa pulang belanjaan pasti ada selisih berat dengan timbangan di rumah. 

Mungkinkah suatu saat negeri kita berubah menjadi negeri impian, dimana pendapatan per kapita sudah cukup untuk makan, menyekolahkan anak, bersedekah, dan sedikit menikmati hiburan? Mungkin saja. Kalau kita memiliki rasa percaya diri, dedikasi, harga diri, dan dan motivasi. Percaya bahwa kita adalah bangsa yang cerdas, percaya bahwa kita sendiri memiliki kemampuan, kapasitas yang tidak kalah dengan bangsa yang berperadaban lebih maju. Kita pernah sekali membuktikan pada dunia ketika para pemuda berkumpul membangun negara dengan tiga sumpahnya yang membahana. Dedikasi pada apa yang kita kerjakan, bahwa karya kita bisa membuat hidup kita nyaman, bukan hanya diri sendiri tetapi juga agar orang yang bekerja dengan kita merasa nyaman. Tidak ada saling menipu, tidak ada saling menjatuhkan, atau saling merugikan. Memiliki harga diri yang tinggi, bangga memakai segala sesuatu yang memiliki secarik label atau cap yang bertuliskan "made in indonesia", dan motivasi serta harapan besar bahwa negeri impian itu akan terwujud jika kita berusaha.

Tapi, apakah cukup kita mengandalkan diri sendiri? Ternyata belum. Karena setiap hari kita bekerja tidak sendiri. Kita bekerja dengan koordinasi, bersama bawahan, bersama atasan, bersama mitra. Kita membutuhkan pemimpin yang yang memiliki rasa percaya diri, dedikasi, harga diri, dan motivasi yang tingkatannya jauh di atas rata-rata. Bukannya pemimpin yang bangga dengan nilai impor yang meningkat setiap tahunnya tetapi tak menghargai karya bangsa sendiri, pemimpin yang tidak mampu mempertahankan badan usahanya dan menjualnya pada orang (baca: bangsa) asing dengan dalih tak mampu menalangi biaya produksi, pemimpin yang tak punya motivasi untuk memperbaiki kualitas diri. Bukankah setiap anak pasti meniru setiap perkataan dan perilaku ayah-ibunya? Bukankah setiap murid melaksanakan apa yang diajarkan oleh gurunya? Begitu pula dengan rakyat yang melakukan hal yang sama dengan apa yang dilakukan oleh pemimpinnya. Orangtua, guru dan pemimpin adalah tongkat penuntun bagi anak, murid dan rakyatnya. 


Ah, kita memang tidak bisa mengharapkan setiap orang menjadi baik 100%. Kita memang tercipta sebagai makhluk dengan sebaik-baik penciptaan, tetapi manusia tetap memiliki dua sisi, dua mata panah, dua kecenderungan untuk menjadi fujuur dan taqwa. Buruk dan baik. Bahkan dengan kepemimpinan Rasulullah yang sebaik-baik pemimpin dan manusia, masih ada segelintir orang munafik di antara kumpulan orang mukmin. Bahkan Sayyidina Umar bin Khattab yang melakukan perjalanan di malam hari masih menemukan seorang ibu yang memasakkan batu untuk anaknya. Dan kondisi negeri kita saat ini jauh sekali dibanding negeri yang pernah dipimpin Umar ataupun Rasul. Mengapa kita belum menemukan pemimpin yang seperti mereka? Kalau saja ada seorang pemimpin seperti Umar bin Abdul Aziz di negeri kita, mungkin tiga tahun lagi negeri kita akan berubah menjadi negeri impian. 

yang sedang menghayal 
sambil mendengarkan "Negeri di Awan"

0 comments:

Posting Komentar