Selasa, 04 Mei 2010

Inilah Pasangan Abadi Abad Ini...



Sore tadi aku bertemu dengan bapak pegawai di SMAku dulu. Pak Harsono namanya. Orangnya kecil, lincah geraknya, keras tawanya, cepat nada bicaranya, dan sudah lumayan banyak usianya. Kutebak mungkin sekarang sekitar 60-70 tahun. Istrinya juga mungil, mengingatkanku pada ibuku yang mungil juga. Beliau berjualan bakmoi di kantin sekolahku, yang hampir selalu kusantap tiap kali aku punya uang saku cukup. Salah satu alasanku suka makan di kantin Bu Harsono adalah aku suka memperhatikan cara beliau membuatkan bakmoi untuk anak-anak SMA, mengingatkanku pada ibuku yang dulu pernah jualan soto di depan rumah.

Satu hal yang selalu kuingat pada sepasang suami istri ini. Mereka berdua sangatlah romantis. Betapa tidak? Berangkat dan pulang ke sekolah selalu berdua, mengendarai sepeda onthel besar berboncengan mesra. Tubuh mereka yang mungil di atas sepeda besar, tetapi dengan penuh semangat Pak Har mengayuh dengan kakinya, membuat saya yang setiap melihatnya jadi merasa lucu dan terharu. Karena rumah mereka tidak begitu jauh dari rumahku, aku sering berpapasan dengan mereka ketika berangkat sekolah, pulang dari sekolah, atau di waktu-waktu libur. Mereka sering kemana-mana berdua naik sepeda besarnya. Kulihat kalau sedang di jalan, mereka berdua asyik ngobrol, sesekali tertawa berdua. Duh, inilah yang bikin aku merasakan sensasi lucu dan mengharukan ketika melihat mereka berdua. Lucu melihat ekspresi wajahnya, mungil tubuhnya, lincah geraknya. Terharu melihat sepasang orangtua kemana-mana bersepeda, masih harus bekerja pula untuk keluarganya. Namun sejak gempa besar melanda Jogja dan aku harus pindah karena rumah yang kutempati sudah rata dengan tanah, aku pun tak pernah bersua lagi dengan pasangan mesra bersepeda ini.


Mereka ini juga pasangan yang kompak. Si bapak ini sering membantu istrinya ketika jualan. Pernah suatu hari si ibu mengeluh lelah pada bapak, lalu bapak menyuruh ibu istirahat dan menggantikan jualan. Tapi, begitu ada anak yang mau beli bakmoi, si bapak tanya-tanya terus, "Bu, nasinya segini? Bu, bawang gorengnya mana ya?" akhirnya si ibu berdiri lagi deh...


Sore tadi aku bertemu dengan Pak Har di Jalan Parangtritis saat aku hendak pulang dari tempat fotokopi-an. Kali ini beliau berjalan kaki dan sendirian saja. Ternyata tempat fotokopi-an itu dekat dengan rumah beliau, hanya berjarak beberapa rumah. Aku sapa beliau, ternyata beliau masih mengenaliku.
"Mampir ke rumah saya, Mbak. Dekat kok. Itu di sebelah kantor pos."
"Iya, Pak. Terima kasih, lain kali aja. Kepingin juga ketemu sama Ibu. Sungkem buat Ibu ya, Pak."
"Wah, Ibu itu sudah ndak ada je. Sudah sejak gempa, selang satu minggu."
"Innalillahi wa inna ilaihi roji'un....aduh, Pak... Ngapunten... maaf, saya ndak tau kalau Ibu sudah ndak ada."
"Nggak apa-apa, Mbak. Setelah gempa itu, ibu terus sakit, livernya nggak kuat."
"Lha yang jualan di kantin sekarang siapa, Pak?" aku langsung teringat dengan bakmoi ibu.
"Mantu saya. Waktu saya tawari, mau nggak, menggantikan ibu jualan? Kalau mau, biar bapak tetap di sekolah, kalau nggak mau, ya biar bapak nggak kerja di sekolah lagi. Ternyata dia mau."


Alhamdulillah, ternyata menantu pak Har mau menggantikan ibu. Lega hatiku, karena bapak masih bisa bernostalgia dengan dengan tempat yang menyimpan banyak kenangan bersama ibu di sekolah.


Ah, Pak Har dan Bu Har. Aku tidak akan pernah melihat lagi kemesraan kalian di atas sepeda. Kemesraan yang  hingga saat ini dan nanti akan tersimpan abadi di boncengan walaupun Ibu sudah tiada.




pictures are taken from here and here

1 comments:

Anonim mengatakan...

ow.. ya...ya..ya..ya... ya.... gambare apik....

Posting Komentar